Jumat, 21 September 2012

Tes Calistung Awal Kebrobokan Bagi Indonesia

Tes CALISTUNG Awal Kebobrokan Bagi Indonesia

Pendidikan bukanlah sesuatu hal yang tabu bagi masyarakat sekarang, baik itu di kalangan perkotaan maupun perdesaan. Bahkan pemerintah memberikan sedikit dari APBN negara untuk kepentingan pendidikan. Pendidikan (John Dewey) adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional kearah alam dan sesama manusia. Prof. Dr. Muhammad yunus mendefinisikan pendidikan adalah usaha-usaha yang sengaja dipilih untuk mempengaruhi dan membantu anak dengan tujuan peningkatan keilmuan jasmani dan akhlak sehingga secara bertahap dapat mengantarkan si anak kepada tujuannya yang paling tinggi, agar si anak hidup bahagia serta seluruh apa yang dilakukanya menjadi bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Pendidikan meliputi pengajaran keahlian khusus, dan juga sesuatu yang tidak dapat dilihat.

Dari pengertian tersebut sangat jelas bahwa tujuan dari pendidikan bukan hanya untuk menghasilkan manusia yang hanya beorientasi pada intelektual, namun juga untuk menciptakan manusia yang memiliki emosional yang sehat guna untuk menciptakan kesejahteraan dan kerukunan dalam bermasyarakat serta kehidupan yang bahagia di masa depan. Seperti yang terdapat pada UU Nomor 2 tahun 1989 secara jelas disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional yaitu, “Mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.” Sesuai dengan undang-undang diatas maka pemerintah juga telah menetapkan hal-hal apa saja yang akan didapatkan oleh anak didik setelah mereka menempuh suatu pendidikan. “Anak didik adalah setiap orang yang menerima pengaruh dari seseorang atau sekelompok orang yang menjalankan kegiatan pendidikan. Sedang dalam arti sempit anak didik ialah anak (pribadi yang belum dewasa) yang diserahkan kepada tanggung jawab pendidik. Salah satu pertanda bahwa seseorang telah belajar adalah adanya perubahan tingkah laku dalam dirinya. Dengan demikian, pendidikan berusaha untuk membawa anak yang semula serba tidak berdaya, yang hampir keseluruhan hidupnya menggantungkan diri pada orang lain, ke tingkat dewasa, yaitu keadaan di mana anak sanggup berdiri sendiri dan bertanggung jawab terhadap dirinya, baik secara individual, secara sosial maupun secara susila” (UU. Nomor 2. 1989).

Semaraknya persaingan antara sekolah untuk menciptakan lembaga pendidikan yang bermutu membuat pihak sekolah menciptakan tes penerimaan yang tidak sesuai dengan standar kemampuan calon siswa baru seperti tes membaca, menulis dan menghitung (CALISTUNG). Seperti yang terdapat  disejumlah sekolah dasar di Jakarta kerap menggunakan tes baca, menulis dan berhitung dalam proses seleksi pemerimaan murid baru. Sekolah yang kerap menggunakan tes ini biasanya adalah sekolah dengan status internasional atau sekolah unggulan. Sehingga banyak dari sekolah-sekolah lain yang meniru untuk menyelenggarakan tes CALISTUNG dalam proses seleksi penerimaan siswa baru. Hal yang sangat disayangkan adalah tes tersebut menjadi salah satu kewajiban bagi anak-anak yang ingin memasuki sekolah. Padahal, sampai saat ini tidak ada peraturan yang secara khusus mewajibkan calon siswa untuk memiliki kemampuan membaca, menulis dan berhitung ketika hendak memasuki sekolah.
Terkait isu tersebut, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan himbauan agar sekolah-sekolah tidak menerapkan sistem Calistung bagi calon peserta didik yang akan masuk kelas 1 SD. Staf Khusus Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Sukemi mengatakan, tidak ada alasan anak usia sekolah ditolak oleh sekolah tertentu dengan alasan tidak bisa baca. “Masa-masa pendaftaran dimulai,  kita suadah mengingatkan kepada guru dan orang tua, para penyelengagra pendidikan . Saya  ingatkan loh ya untuk anak-anak yang masuk sekolah SD  itu tidak wajib dan tidak ada ujian yang sulit itu.  Sepanjang anaknya sudah masuk usia sekolah, maka tidak ada alasan apapun untuk menolak atau tidak menerima anak itu karena tidak bisa baca dan menulis”. Staf Khusus Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Sukemi juga menambahkan  kementerian sudah membuka pusat informasi untuk menerima keluhan atau masukan dari para orangtua murid. Caranya, tinggal menghubungi nomor telpon 177 pada jam kerja. Laporan yang masuk dijanjikan akan segera ditindaklanjuti.
Kenyataan yang terjadi saat ini sungguh sangat memperhatinkan, banyak dari orang tua wali yang mengharapkan dengan adanya himbauan Kementrian Pendidikan membuat pihak sekolah menghapus tes tersebut, namun yang terjadi malah pihak sekolah berlomba-lomba untuk mendapatkan calon siswa yang bisa mengukir prestasi sebanyak-banyaknya yang menguntungkan pihak sekolah nantinya. Sebenarnya standar kompetensi pada anak-anak untuk membaca, menulis, dan menghitung itu diajarkan pada SD. Misalnya Standar Kompetensi Lulusan (SKL) untuk matematika itu kelas 1 SD akhir semester 1, akhir semester 1 itu anak cukup bisa menghitung 1-20. Jadi berarti semua memang baru dimulai pada waktu SD itupun dalam suasana gembira, memang sayang sekali kalau anak-anak harus dipaksa untuk menguasai kemampuan membaca, menulis, dan menghitung sebagai persyaratan untuk masuk ke sekolah dasar itu akan membuat anak-anak menjadi stress, tertekan, dan semacam bentuk pelanggaran pada hak anak-anak.
Ketua Dewan Pembina Komnas Perlindungan Anak, Seto Mulyadi mengatakan tidak sepantasanya anak usia dini harus dihadapkan dengan ujian kompetensi untuk persyaratan masuk sekolah tertentu. Kak Seto menilai sistem ini sangat keliru dan hanya akan membuat anak semakin tertekan. Menurut kak Seto Mulyadi, dunia anak adalah dunia bermain. Karena itu, anak-anak usia dini harus diberikan kebebasan untuk bermain. Dia menilai, anak-anak usia dini tidak bisa dipaksakan untuk berpikir keras seperti membaca, menulis dan berhitung. Karena, anak-anak di bawah usia tujuh tahun belum memiliki kemampuan untuk menganalisa hal-hal yang abstrak. Apalagi bila itu diberikan sebelum SD. Ini akan menghabiskan masa bermain anak. “Itu sangat memprihatinkan, karena standar kompetensi pada anak, calistung itu seharusnya diajarkan pada SD. Misalnya, standar kompetensi lulusan (SKL) untuk matematika, itu untuk anak SD semester I, pada masa ini anak cukup bisa menghitung sampai 20. Jadi semua memang harus dimulai pada waktu SD, itu pun dalam suasana gembira, bukan di TK,” terang Kak Seto Mulyadi.
Dalam teori psikologi kognitif ( Jean Piaget 1896-1980) anak pada saat usia 5-7 tahun memasuki tahap Praoperasional. Pemikiran Praoperasi dalam teori Piaget adalah prosedur melakukan tindakan secara mental terhadap objek-objek. Ciri dari tahapan ini adalah operasi mental yang jarang dan secara logika tidak memadai. Dalam tahap ini, anak belajar menggunakan dan merepresentasikan objek dengan gambaran dan kata-kata. Pemikirannya masih bersifat egosentris: anak kesulitan untuk melihat dari sudut pandang orang lain. Anak dapat mengklasifikasikan objek menggunakan satu ciri, seperti mengumpulkan semua benda merah walau bentuknya berbeda-beda atau mengumpulkan semua benda bulat walau warnanya berbeda-beda. Sungguh sangat menyulitkan bagi anak jika pada usia tersebut sudah dibebankan untuk memiliki kemampuan membaca, menulis dan berhitung. Karena jika dilihat dari segi kemampuan kognitif, anak belum bisa menjangkau kemampuan yang bersifat logika yang memadai seperti membaca, menulis dan berhitung.
Piaget menambahkan bahwa pada tahapan pra-operasional mengikuti tahapan sensorimotor dan muncul antara usia dua sampai enam tahun. Dalam tahapan ini, anak mengembangkan keterampilan berbahasanya. Mereka mulai merepresentasikan benda-benda dengan kata-kata dan gambar. Bagaimanapun, mereka masih menggunakan penalaran intuitif bukan logis seperti menghitung, menggabungkan huruf yang satu dengan yang lain. Di permulaan tahapan ini, mereka cenderung egosentris, yaitu, mereka tidak dapat memahami tempatnya di dunia dan bagaimana hal tersebut berhubungan satu sama lain. Mereka kesulitan memahami bagaimana perasaan dari orang di sekitarnya. Tetapi seiring pendewasaan, kemampuan untuk memahami perspektif orang lain semakin baik. Anak memiliki pikiran yang sangat imajinatif di saat ini dan menganggap setiap benda yang tidak hidup pun memiliki perasaan. Namun, jika pada tahap ini anak sudah dipaksakan untuk memiliki kemampuan logis, maka akan sangat berdampak pada perkembangan emosionalnya. Dimana seorang anak cenderung bersifat pendiam, pencemas dan tidak bersemangat, bahkan akan menjadi stress tersendiri bagi si anak.
Walaupun anak-anak prasekolah dapat secara simbolis melukiskan dunia, menurut Piaget mereka masih belum mampu untuk melaksanakan apa yang Piaget sebut “operasi” tindakan mental yang diinternalisasikan yang memungkinkan anak-anak melakukan secara mental apa yang sebelumnya dilakukan secara fisik. Dan sungguh tidak memungkinkan jika tes membaca, menulis dan berhitung dijadikan prasyarat diterimanya seorang anak saat usia mereka masih memasuki tahap pra-operasional. Sedangkan pada tahap selanjutnya yaitu tahap operasional konkret yang berlangsung kira-kira dari usia 7-11 tahun, merupakan tahap ketiga Piaget. Pada tahap ini, anak-anak dapat melaksanakan operasi, dan penalaran logis menggantikan pemikiran intuitif sejauh pemikiran dapat diterapkan ke dalam contoh-contoh yang spesifik atau konkret. Misalnya, pemikir operasional konkret tidak dapat membayangkan langkah-langkah yang diperlukan untuk menyelesaikan suatu persamaan aljabar, yang terlalu abstark untuk dipikirkan pada tahap perkembangan ini. Mungkin pada saat inilah anak sudah memulai untuk memiliki kemampuan dalam bidang membaca, menulis dan berhitung. Sehingga akan sangat mudah diterima dan dipahami jika pelajaran tersebut diberikan pada saat kemampuan kognitifnya telah memadai.
Salah seorang tokoh perkembangan anak Erik erikson menyatakan bahwa masa kanak-kanak adalah masa yang paling brilliant yang pernah dilalui manusia. Karena pada saat itu manusia mampu belajar segala-galanya dalam waktu yang relatif singkat. Anak-anak adalah mahluk-mahluk yang brilliant maka dari itu perlakukan Ia dengan sesuai dengan tahapan pertumbuhan sosialnya agar mampu menjadi mahluk sosial yang luar biasa. Orangtua yang bijak akan mengajarkan anak tentang peran-peran sosial dan tanggung jawab sosial yang berlaku sesuai dengan usianya. Dan pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mampu menghasilkan peserta didik yang memiliki kemampuan intelektual dan sosial yang baik.
Proses belajar dan tumbuh kembang anak harus diarahkan untuk menyuburkan perkembangan kecerdasan majemuk (multiple inteligensia). Menurut Taylor dalam  (Gardner :1993)  memperkenalkan tujuh kecerdasan majemuk, yaitu: kecerdasan musical (kepekaan dan kemampuan berekspresi dengan bunyi, nada, melodi, irama); bodily-kinesthetic (ketrampilan gerak, menari, olahraga); logical–mathematical (kemampuan menggunakan logika-matematik dalam memecahkan berbagai masalah); linguistic (kemampuan menguraikan pikiran dalam kalimat-kalimat, presentasi, pidato, diskusi, tulisan); spatial (kemampuan berpikir tiga dimensi), intrapersonal (kemampuan memahami dan mengendalikan diri sendiri); interpersonal (kemampuan memahami dan menyesuaikan diri dengan orang lain).
Setiap anak diharapkan dapat berkembang secara sempurna dan simultan, baik perkembangan fisik, kejiwaan dan juga sosialnya. Untuk itu perlu dipetakan berbagai unsur yang terlibat dalam proses perkembangan anak sehingga dapat dioptimalkan secara sinergis. Urie Bronfenbrenner dalam Bappenas (2008) memetakan aspek pengembangan secara komprehensif melalui teori ekologi. Banyak penelitian yang telah dilakukan oleh Bunner yang menunjukkan bahwa dampak – dampak sosialkultural dan kegagalan seorang individu dalam bersosialisasi disebabkan karena kegagalan pada tahap Mikrosistem. Dalam mikrosystem inilah interaksi yang paling langsung dengan agen-agen social berlangsung. Misalnya orang tua, teman-teman sebaya, dan guru. Individu tidak dipandang sebagai penerima pengalaman yang pasif dalam setting ini, tetapi sebagai seseorang yang menolong membangun setting. Konteks ini meliputi keluarga sang anak, tema-teman sebaya, sekolah dan lingkungan. Oleh karen aitu diharapkan pada tahap ini anak banyak berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya daripada mengembangkan potensi intelektual. Karena jika pada tahap ini anak banyak menghabiskan waktunya dengan mengembangkan kemampuan intelektual akan berdampak sulitnya seorang anak bersosialisasi dengan teman-teman sebaya dan orang lain yang ada disekitarnya.
Berdasarkan teori-teori psikologi yang membahas tentang perkembangan kognisi dan sosial seorang anak membuktikan bahwa tidak layaknya tes membaca, menulis dan berhitung ( CALISTUNG) diberikan pada anak yang baru memasuki usia 5-7 tahun. Di usia tersebut seorang anak masih menginginkan hal-hal yang bersifat menyenangkan. Dan kemapuan yang sangat dikuasai pada saat memasuki usia tersebut adalah menghafal dan mengenali apa-apa saja yang ada disekitar mereka. Akan lebih sangat efektif jika pihak sekolah melaksanakan tes yang sesuai dengan kemampuan mereka, seperti hafalan doa-doa sehari, pancasila, dan lain sebagaimana yang tidak memaksakan kemampuan kognitif yang lebih berat. Jika ingin melatih kemapuan membaca, mungkin cukup dengan meminta para calon siswa menuliskan nama mereka dan orang tua mereka. Tes tersebut sudah sangat layak dalam mengukur tingkat kemampuan anak untuk menerima proses pengajaran yang terdapat di sekolah-sekolah.
Sebagai orang tua pastinya mengharapkan anaknya tumbuh menjadi anak yang periang dan mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Banyak dari para orang tua yang hanya membiarkan pelaksanaan tes membaca, menulis dan berhitung (CALISTUNG) diberikan pada anak mereka. Mereka berpendapat bahwa dengan memberikan tes tersebut seorang anak akan lebih mampu menguasai pelajaran-pelajaran yang lebih sulit serta bisa mengukir prestasi yang baik nantinya.
 Namun jauh dari hal tersebut orang tua tidak memahami bagaimana pentingnya menumbuhkan sifat periang, bersemangat dalam mengikuti pelajaran di sekolah dalam diri seorang anak. Hanya sebagian kecil dari orang tua yang menyadari bahwa tes membaca, menulis dan berhitung (CALISTUNG) tidak layak diberikan pada anak. Mereka yang menyadari hal tersebut berpendapat bahwa tes CALISTUNG merupakan salah bentuk pelanggaran hak anak. Salah satu orang tua, Ipung menilai, sistem itu merupakan bentuk pengabaian  hak-hak anak untuk bersekolah. Dia mengatakan: “Tidak menuntut besar kemampuan anak anak. Dunia bermain pada anak-anak harus diberikan.   Ibu setuju dengan adanya test tulis?, Saya tidak setuju dengan adanya test tulis.  Untuk usia pra sekolah itu dunia bermain dunia anak-anak milik anak-anak dimulai 0-6 tahun. Mereka hanya dibukakan kondisi untuk aspek afrektif dan aspek sikomotorik.  Jangan sampai anak itu mendapat underpresure yang tinggi”.( kompas: januari,2012).
Di zaman yang modern ini, sangat jarang kita menemukan anak yang bersemangat untuk bersekolah. Hal itu sering ditemukan pada saat seorang hendak mebangunkan anaknya untuk berangkat ke sekolah. Banyak dari mereka yang menangis dan marah saat diingatkan untuk berangkat ke sekolah. Bagi mereka sekolah bukanlah sebua tempat yang menyenangkan, melainkan tempat yang sangat menyeramkan. Bagaimana tidak? Jika pada awal penerimaan calon siswa saja sudah ditetapkan pola tes yang sangat memberatkan dan tidak menjangkau kemampuan seorang anak, tentu pada saat proses pembelajaran akan terjadi kebosanan dan hilangnya minat seorang anak untuk belajar.
Sampai saat sekarang ini tidak ditemukan alasan apa yng mendasari pihak sekolah menetapkan tes membaca, menulis dan berhitung (CALISTUNG) sebagai prasyarat diterimanya anak dalam mengikuti proses pembelajaran di sekolah tersebut. Kebanyakan dari sekolah-sekolah yang berstandar internasional yang menerapkan tes tersebut, sehingga tidak menuntut kemungkinan tes CALISTUNG ditiru oleh banyak sekolah lainnya. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa jika tes tersebut berhasil diterapkan, maka akan sangat memudahkan siwa dan guru untuk memberi pemahaman anak ketika proses pembelajaran berlangsung. Namun, apa bisa dipastikan jika pihak sekolah memberikan tes tersebut pada awal penerimaan siswa baru akan menghasilkan peserta didik yang memiliki kemampuan dalam bidang akademik yang baik? Dan apakah jika proses pembelajaran membaca, menulis dan berhitung itu diberikan terlambat menurut perkiraaan usia yang telah ditetapkan pihak sekolah akan membuat anak-anak susah dan mungkin tidak bisa memiliki kemampuan membaca, menulis dan berhitung yang baik? Tentu saja tidak, karena anak-anak memiliki usia yang layak diberikan pembelajaran dan kemampuan dalam bidang membaca, menulis dan berhitung seperti yang telah dijabarkan pada teori-tori psikologi diatas. Sehingga mereka akan memiliki kemampuan yang baik jika proses pembelajaran tersebut diberikan pada waktu yang tepat.
Terkait permasalahan tersebut pihak PBB telah melakukan penelitian tentang tingkat melek aksara di dunia. Organisasi PBB untuk pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan (UNESCO) memberikan defenosi tentang melek aksara. Menurut UNESCO, melek aksara adalah kemampuan untuk mengidentifikasi, menerjemahkan, membuat, mengkomunikasikan dan mengolah isi dari rangkaian teks yang terdapat pada bahan-bahan cetak dan tulisan yang berkaitan dengan berbagai situasi. Berdasarkan perkembangan modern kata ini lalu diartikan sebagai kemampuan untuk membaca dan menulis pada tingkat yang baik untuk berkomunikasi dengan orang lain, atau dalam taraf bahwa seseorang dapat menyampaikan idenya dalam masyarakat yang mampu baca-tulis, sehingga dapat menjadi bagian dari masyarakat tersebut. Melek aksara merupakan kemampuan yang sangat penting yang wajib dikuasai oleh setiap penduduk di dunia. Kemampuan baca-tulis ini dianggap penting karena melibatkan pembelajaran berkelanjutan oleh seseorang sehingga orang tersebut dapat mencapai tujuannya, dimana hal ini berkaitan langsung bagaimana seseorang mendapatkan pengetahuan, menggali potensinya, dan berpartisipasi penuh dalam masyarakat yang lebih luas.
Banyak analis kebijakan menganggap angka melek aksara adalah tolak ukur penting dalam mempertimbangkan kemampuan sumber daya manusia di suatu daerah. Hal ini didasarkan pada pemikiran yang berdalih bahwa melatih orang yang mampu baca-tulis jauh lebih mudah daripada melatih orang yang buta aksara, dan umumnya orang-orang yang mampu baca-tulis memiliki status sosial ekonomi, kesehatan, dan prospek meraih peluang kerja yang lebih baik. Argumentasi para analis kebijakan ini juga menganggap kemampuan baca-tulis juga berarti peningkatan peluang kerja dan akses yang lebih luas pada pendidikan yang lebih tinggi. Bahkan orang yang bisa menguasai peradaban di dunia ini adalah orang-orang yang memiliki kemampuan membaca, menulis dan berhitung bukan orang-orang yang buta huruf. Dan tidak ada lapangan kerja yang bergengsi mau menerima dan memperkerjakan karyawan yang tidak memiliki kemampuan melek aksara ( buta huruf). Karena akan sangat menyusahkan dan merugikan perusahaan itu sendiri. Dan orang-orang yang memilki kemampuan melek aksara biasanya akan mendapatkan kehidupan yang layak dalam kesehariannya.
Sebagai contoh di Kerala, India, tingkat kematian wanita dan anak-anak menurun drastis pada tahun 1960an, saat anak-anak gadis terdidik disaat reformasi pendidikan setelah tahun 1948 mulai berkeluarga. Walaupun begitu riset terbaru beragumentasi bahwa hasil yang didapat di atas mungkin lebih banyak disumbangkan sebagai hasil dari disekolahkannya anak-anak tersebut dibandingkan dari kemampuan baca-tulisnya saja. Walaupun begitu, diseluruh dunia fokus dari sistem pendidikan tetap merupakan konsep-konsep yang meliputi komunikasi melalui teks dan media cetak, dan hal ini masih merupakan dasar dari definisi melek aksara.
Dalam sejarah islam telah digambarkan tentang proses turunnya wahyu pertama di gua hira’ memerintahkan rasulullah SAW untuk membaca. Dalam runtutan kejadiannya digambarkan bahwa rasulullah didatangi seorang makhluk yang bernama jibril. Makhluk tersebut datang menghampiri rasulullah SAW dan memaksa beliau untuk membaca apa yang dibawa oleh makhluk tersebut. “Iqra!! Iqra bismi Rabbika!!”, kata jibril. Dan rasulullah berulang kali menjawab “ Ma ana bi qari”. Hal tersebut berulang kali dikatakan rasulullah saat beliau dipaksakan untuk membaca apa yang diperintahkan oleh jibril. Hingga di kali ketiganya barulah rasulullah mau untuk membacanya.
Berdasarkan wahyu pertama yang diturunkan Allah kepada rasulullah telah jelas bahwa perintah membaca menjadi hal yang sangat penting. Dalam wahyu tersebut juga dijelaskan bahwa perintah membaca tersebut bukan hanya membaca secara teks, tetapi juga membaca secara konteks. Dimana seseorang harus mampu memnbaca keadaan apa saja yang terjadi di lingkungan sekitar. Pada waktu itu menurut para ahli tafsir dijelaskan bahwa jibril memerintahkan rasulullah untuk membaca keadaan yang terlihat dari gua hira’, yang menggambarkan tentang kehidupan masyarakat yang sangat bobrok. Dengan memiliki kemampuan membaca rasulullah diharapkan mampu menganalisa kehidupan yang terjadi pada saat itu, dan mampu memberikan solusi yang terbaik dalam menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi pada saat itu serta mampu membangun sebuah masyarakat yang memiliki peradaban yang baik tentunya.
Kemampuan membaca, menulis dan berhitung yang dimiliki seseorang diharapkan mampu memberikan kontribusi untuk perkembangan dan kemajuan suatu negara, paling tidak kontribusi yang baik untuk kehidupan pribadi dalam mendapatkan kesejahteraan dalam hidunya. Namun, bukan berarti dengan pentingnya kemampuan tersebut memaksakan seorang apalagi anak-anak yang yang usianya belum mampu untuk menerima hal tersebut. Karena rasulullah sendiri menerima proses pembelajaran membaca pada saat usia beliau memasuki 40 tahun. Dan keterlambatan mendsapatkan proses belajar tersebut tidak membuat rasulullah buta huruf dan tidak memiliki kemampuan akademik lainnya.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan organisasi PBB bidang pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan terhadap persentasi populasi orang dewasa yang bisa menulis dan membaca menyatakan bahwa di negara- negara Asia selatan, Arab dan Afrika utara hampir sekitar 40 – 50 % penduduknya buta huruf. Asia timur dan Amerika memiliki persentase 10 – 15 % dari jumlah penduduk yang tidak bisa membaca dan menulis. Berbeda dengan Australia dan Austria yang hampir tidak ditemukan dari penduduknya yang buta huruf. Dari hasil penelitian tersebut diperoleh bahwa penyebab buta huruf tersebut bukan karena tidaki diberikan program khusus tentang membaca dan menulis, melainkan terlalu cepatnya proses pembelajaran tersebut diberikan. Sebagai negara yang kemampuan melek aksaranya 100% Australia menetapkan peraturan yang khusus tentang proses pengajaran membaca, menulis dan berhitung. Kemampuan tersebut baru diberlakukan terhadap anak-anak yang usianya telah memasuki 7 tahun keatas. Sehingga pada usia tersebut, seorang anak telah memiliki kesiapan yang matang untuk menerima dan memiliki kemampuan tersebut.
Di Indonesia sendiri banyak kita melihat perilaku orang-orang yang memiliki kemampuan intelektual yang bagus malah melakukan tindakan kriminal seperti korupsi, penipuan dan lain sebagainya. Hal ini disebabkan karena banyak nya sekolah dan lembaga pendidikan yang hanya mementingkan prestasi anak yang bersifat kognitif bukan psikomotoriknya, sehingga tidah heran jika angka kriminalitas sangat tinggi di negara yang tercinta ini.
Kurang tegasnya peraturan dari pemerintah terhadap pelaksanaan tes CALISTUNG, sehingga masih membuat beberapa sekolah masih menerapkan tes tersebut dalam penerimaan siswa baru. Dan kurangnya kesadaran dan kepedulian orang tua tentang pentingnya menumbuhkan emosinal yang baik pada anak, sehingga jiwa periang, semangat belajar yang tinggi serta akhlak yang berbudi luhur. Dari pihak orang tua sendiri masih banyak yang bangga jika melihat anak mereka yang sudah bisa membaca, menulis dan berhitung bahkan ada yang memaksakan anak mereka untuk bisa menguasai bahasa asing seperti bahasa inggris pada saat usia 5 tahun. Sungguh hal tersebut sangat menekan jiwa sang anak, sehingga dalam pikiran anak sekolah bukanlah tempat yang menyenangkan, melainkan tempat yang menyeramkan dan menyiksa mereka. Oleh sebab itu, sangat diperlukan perhatian pemerintah untuk membuat peraturan yang khusus tentang penghapusan tes CALISTUNG dan kurikulum yang mewajibkan anak pada usia dini harus memiliki kemampuan membaca, menulis dan berhitung. Sehingga kedepanya kita bisa melihat anak-anak yang cerdas, ceria, memiliki akhlak yang baik, serta bersemangat dalam mengikuti proses pembelajaran di sekolah.