Kamis, 29 November 2012

Pendatang baru (pro)

Seorang yang menjadi pendatang baru dalam suatu kebudayaan akan memiliki personal eustress yang tinggi
Kajian Pro
Globalisasi yang terjadi dalam kehidupan kita membawa dampak yang baik maupun yang buruk. Tuntutan perkembangan zaman tak heran membuat seseorang untuk berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, dari satu budaya ke budaya yang lain, hal ini sering disebut dengan migrasi. Dalam kamus besar bahasa Indonesia migrasi adalah perpindahan penduduk dari satu tempat ke tempat yang lain untuk menetap. Adapun jenis-jenis migrasi tersebut adalah:
Ø  Transmigrasi yaitu perpindahan penduduk dari daerah yang padat penduduknya ke daerah yang jarang penduduknya.
Ø  Urbanisasi adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota, sebaliknya disebut ruralisasi
Ø  Imigrasi yaitu perpindahan penduduk ke suatu negara untuk menetap.
Ø  Emigrasi yaitu adalah perpindahan penduduk dari tanah airnya ke negara lain untuk menetap.
Adapun faktor – faktor yang mendorong migrasi dari suatu daerah antara lain:
Ø  Keadaan yang sulit di daerah asal, misalnya susah mencari pekerjaan.
Ø  Adanya bencana alam.
Ø  Sarana pendidikan di daerah asal yang tidak memenuhi standar kelengkapan dan standar kualitas.
Ø  Keadaan sosial budaya di daerah asl, misalnya adanya kawin paksa sehingga mendorong seseirang untuk berpindah ke daerah lain yang adatnya pernikahan lebih longgar.
Sedangkan faktor-faktor pemikat seseorang pendatang untuk melakukan migrasi adalah:
Ø  Adanya kesempatan kerja di daerah baru.
Ø  Adanya peluang untuk mendapatkan pendidikan, karir dan pendapatan yang lebih baik.
Ø  Tersedianya sarana rekreasi, hiburan, dan pusat-pusat kebudayaan.
Di dalam suatu daerah tentu menganut kebudayaan, tradisi, dan norma tertentu yang menampakkan identitas dan kekhasan tersendiri bagi daerah tersebut. Kesimpulan yang diambil dari berbagai tokoh mendefinisikan Kebudayaan itu sendiri merupakan seluruh hasil karya, rasa cipta masyarakat baik material maupun non material. Bentuk-bentuk kebudayaan tersebut menurut C. Kluckhon antara lain:
Ø  Peralatan dan perlengkapan hidup manusia ( alat-alat rumah tangga, produksi, transportasi dan lain sebagainya)
Ø  Mata pencaharian hidup dan sistem ekonomi
Ø  Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi, hukum dan perkawinan)
Ø  Bahasa
Ø  Kesenian
Ø  Sistem pengetahuan
Ø  Religi
Dan fungsi dari kebudayaan tersebut adalah sebagai wadah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia, melindungi diri dari alam, mengatur hubungan dengan manusia, serta sebagai wadah untuk menyampaikan perasaan. Berbicara tentang migrasi, maka di dalam kebudayaan tersebut juga mengandung norma yang mencakup tata kelakuan, kebiasaan dan cara. Norma sendiri merupakan patokan perilaku dalam suatu kelompok tertentu. Dengan adanya norma seorang pendatang akan mengetahui bagaimana dia akan bertindak sesuai dengan patokan yang berlaku pada suatu daerah. Dalam hal penyesuain diri yang dilakukan pendatang  terhadap suatu kebudayaan tertentu menimbulkan dua bentuk perilaku, yaitu:
Ø  Asimilasi yaitu pembauran dua kebudayaan yang disertai dengan hilangnya ciri khas kebudayaan asli sehingga membentuk kebudayaan baru.
Ø  Akomodasi yaitu pemaburan dua kebudayaan dimana antara kebudayaan baru dan kebudayaan lama masih dipegang kuat.
Dalam melakukan suatu migrasi, suku bangsa pendatang akan turut membawa adat-istiadat, norma, agama dan berbagai bentuk organisasi sosial ke dalam lingkungan sosial budaya setempat. Budaya setempat bisa jadi berbeda secara sebagian maupun keseluruhan terhadap budaya yang ia bawa. Di tempat tujuan kebiasaan-kebiasaan yang dibawa dari daerah asal akan mengalami perubahan termasuk orientasi terhadap kampung halaman (Naim, 1984). Menurut (koenjaraninggrat, 1986) migrasi menyebabkan paham-paham kelompok manusia dan kebudayaan yang berbeda-beda, akibatnya individu dalam kelompok dihubungkan dengan unsur kebudayaan yang lain. Cohen juga menambahkan bahwa apabila kelompok suku bangsa memasuki daerah yang baru baginya, dimana kebudayaan itu terpisah secara fisik dengan kebudayaan asal akan melakukan adaptasi lingkungan sosial budaya secara fisik ditempat yang baru didatanginya. Menurut (Suharsono 1977:48) di dalam kebudayaan itu manusia memeliki seperangkat pengetahuan yang dipakai untuk memahami serta menginterpretasikan dirinya dengan lingkungan yang baru. Manusia juga mempunyai pengetahuan kebudayaan yang dipakai sehubungan dalam menghadapi kebudayaan suku bangsa asal setempat. Pengetahuan itu tentunya sangat banyak mendukung terhadap proses adaptasi.
Dalam menghadapi kebudayaan setempat, individu tertentu sering merasakan kesulitan dan menghadapi berbagai tantangan yang sering menimbulkan stress bagi individu tersebut. Tylor berpendapat bahwa stress merupakan hasil dari proses penilaian individu berkaitan dengan sumber pribadi yang dimilikinya untuk menghadapi tuntutan dari lingkungan. Pakar lainnya Kirckaldy berpendapat bahwa stress akan muncul apabila ada tuntutan yang dirasakan seseorang menantang, menekan, membebani at`u melebihi penyesuaian diri individu tersebut. Intinya faktor terbesar yang dapat mempengaruhi stress adalah penyesuaian diri yang dimiliki individu atau ketidakmampuan individu untuk berinteraksi dengan lingkungan.
Selanjutnya, stress dibagi menjadi dua, yaitu:
1.      Distress (stress negatif) merupakan stress yang menggangu.
2.      Eustress (stress positif) merupakan stress yang tidak menggangu dan memberikan perasaan bersamangat kepada individu yang mengalami stress.
Dalam hal ini seseorang dikatakan memiliki personal eustress yang tinggi apabila stress yang dialami secara totalitas diluar benar-benar kemampuan yang dimiliki baik secara fisik dan mental dan bersifat memaksa dan menekan yang bertujuan untuk pencapaian akan seseuatu yang berarti dan memenangkan pertandingan.
Berbagai stressor yang menimbulkan terjadi eustress sendiri, menurut safarina adalah:
Ø  Stressor yang berasal dari individu tersebut yang berupa penyakit dan konflik.
Ø  Stressor yang berasal dari lingkungan keluarga yaitu stres yang dihasilkan melalui adanya perilaku, kebutuhan-kebutuhan dan kepribadian masing-masing anggota keluarga yang berdampak bagi anggota keluarga lainnya. Konflik interpersonal ini dapat timbul dari masalah finansial, adanya tujuan yang berbeda dalam keluarga, kematian dari anggota keluarga.
Ø  Stressor yang berasal dari anggota masyarakat  
Ø  Life change-events yaitu peristiwa-peristiwa yang membawa perubahan yang menuntut individu untuk melakukan adaptasi terhadap perilaku tersebut.

Dalam diri seorang pendatang yang menghadapi kebudayaan baru, tentunya akan menimbulkan reaksi stress yang positif (eustress) tinggi. Seorang pendatang akan sangat bermotivasi untuk mengahadapi tantangan dan melakukan penyesuaian terhadap kebudayaan setenpat. Seorang pendatang yang mengalami stress akan sangat kelihatan dari dinamika psikologisnya, dimana individu tersebut akan bereaksi secara fisik, emosi, kognitif maupun reaksi tingkah laku untuk menyesuaikan diri dengan kebudayaan setempat.
Terkait dengan judul diatas bahwa seorang pendatang pada suatu kebudayaan tertentu akan menimbulakn personal eustress, maka dalam hal ini akan dibatasi pendatang yang melakukan emigrasi dan imigrasi, dimana jika dilihat dari tujuan daerah yang didatangi memiliki kultur yang sangat berbeda dari daerah asal.
Hampir setipa tahunnya, kita mengetahui bahwa jumlah TKI dari berbagai daerah meningkat, walaupun


Mengacu pada pendapat Suharsono di dalam kebudayaan itu manusia memeliki seperangkat pengetahuan yang dipakai untuk memahami serta menginterpretasikan dirinya dengan lingkungan yang baru. Manusia juga mempunyai pengetahuan kebudayaan yang dipakai sehubungan dalam menghadapi kebudayaan suku bangsa asal setempat. Pengetahuan itu tentunya sangat banyak mendukung terhadap proses adaptasi.
Fenomena yang lain, kita tentu mengetahui bahwa hampur setiap tahunnya
Pada umumnya kebudayaan itu bersifat adaptif, karena kebudayaan itu membekali manusia dengan cara-cara penyesuaian psikologis dan penyesuaian terhadap lingkungan yang bersifat geografis. Dengan demikian berbagai tantangan yang dihadapi akan menjadikan personal eustress dalam diri seseorang dalam mencapai penyesuain terhadap kebudayaan baru.

Pendatang baru (kontra)


Seorang yang menjadi pendatang baru dalam suatu kebudayaan akan memiliki personal eustress yang tinggi
Kajian kontra
Budaya merupakan aset terbesar bagi suatu daerah, dimana budaya tersebut menunjukkan jati diri seseorang dan kekhasan yang dia miliki. Demikian juga dengan negara tercinta kita ini Indonesia yang merupakan sebuah negara yang memiliki masyarakat dengan suku, bahasa dan adat istiadat yang beraneka ragam, keanekaragaman yang terjadi tentunya menciptakan kekhasan pada setiap kebudayaan yang dianut dalam masyarakat tersebut. Berbagai alasan dan tuntutan perkembangan zaman membuat seseorang melakukan sebuah perpindahan atau mendatangi satu daerah dimana terdapat perbedaan sedikit atau seluruhnya antara budaya yang didatangi dengan daerah asalnya. Pendapat........................
Pendatang dalam suatu kebudayaan dapat didefinisikan sebagai seseorang yang mendatangi dengan tujuan menetap dalam suatu daerah dimana daerah yang didatangi memiliki sistem kebudayaan dan tradisi yang  berbeda dengan kebudayaan dan tradisi asalnya. Perilaku semacam ini sering disebut dengan migrasi, yaitu perpindahan penduduk dari suatu tempat ke tempat yang lain. Adapun jenis-jenis migrasi tersebut adalah:
Ø  Transmigrasi yaitu perpindahan penduduk dari daerah yang padat penduduknya ke daerah yang jarang penduduknya.
Ø  Urbanisasi adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota, sebaliknya disebut ruralisasi
Ø  Imigrasi yaitu perpindahan penduduk ke suatu negara untuk menetap.
Ø  Emigrasi yaitu adalah perpindahan penduduk dari tanah airnya ke negara lain untuk menetap.
Adapun faktor – faktor yang mendorong migrasi dari suatu daerah antara lain:
Ø  Keadaan yang sulit di daerah asal, misalnya susah mencari pekerjaan.
Ø  Adanya bencana alam.
Ø  Sarana pendidikan di daerah asal yang tidak memenuhi standar kelengkapan dan standar kualitas.
Ø  Keadaan sosial budaya di daerah asal, misalnya adanya kawin paksa sehingga mendorong seseirang untuk berpindah ke daerah lain yang adatnya pernikahan lebih longgar.
Sedangkan faktor-faktor pemikat seseorang pendatang untuk melakukan migrasi adalah:
Ø  Adanya kesempatan kerja di daerah baru.
Ø  Adanya peluang untuk mendapatkan pendidikan, karir dan pendapatan yang lebih baik.
Ø  Tersedianya sarana rekreasi, hiburan, dan pusat-pusat kebudayaan.
Di dalam suatu daerah tentu menganut kebudayaan, tradisi, dan norma tertentu yang menampakkan identitas dan kekhasan tersendiri bagi daerah tersebut. Kesimpulan yang diambil dari berbagai tokoh mendefinisikan Kebudayaan itu sendiri merupakan seluruh hasil karya, rasa cipta masyarakat baik material maupun non material. Bentuk-bentuk kebudayaan tersebut menurut C. Kluckhon antara lain:
Ø  Peralatan dan perlengkapan hidup manusia ( alat-alat rumah tangga, produksi, transportasi dan lain sebagainya)
Ø  Mata pencaharian hidup dan sistem ekonomi
Ø  Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi, hukum dan perkawinan)
Ø  Bahasa
Ø  Kesenian
Ø  Sistem pengetahuan
Ø  Religi
Dan fungsi dari kebudayaan tersebut adalah sebagai wadah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia, melindungi diri dari alam, mengatur hubungan dengan manusia, serta sebagai wadah untuk menyampaikan perasaan. Berbicara tentang migrasi, maka di dalam kebudayaan tersebut juga mengandung norma yang mencakup tata kelakuan, kebiasaan dan cara. Norma sendiri merupakan patokan perilaku dalam suatu kelompok tertentu. Dengan adanya norma seorang pendatang akan mengetahui bagaimana dia akan bertindak sesuai dengan patokan yang berlaku pada suatu daerah. Dalam hal penyesuain diri yang dilakukan pendatang  terhadap suatu kebudayaan tertentu menimbulkan dua bentuk perilaku, yaitu:
Ø  Asimilasi yaitu pembauran dua kebudayaan yang disertai dengan hilangnya ciri khas kebudayaan asli sehingga membentuk kebudayaan baru.
Ø  Akomodasi yaitu pemaburan dua kebudayaan dimana antara kebudayaan baru dan kebudayaan lama masih dipegang kuat.
Selanjutnya berbicara tentang personal eustress, personal eustress merupakan stress positif, bermanfaat, dimana memberikan perasaan bersemangat pada individu yang mengalaminya. Dan menurut Seyla, eustress dapat meningkatkan kesadaran, meningkatkan mental kesiagaan, dan juga memberikan motivasi pada individu. Seseorang dikatakan memiliki personal eustress yang tinggi apabila stress yang dialami secara totalitas diluar kemampuan yang dimiliki baik secara fisik dan mental dan bersifat memaksa dan menekan yang bertujuan untuk pencapaian akan seseuatu yang berarti dan memenangkan pertandingan.
Berbagai stressor yang menimbulkan terjadi eustress sendiri, menurut safarina adalah:
Ø  Stressor yang berasal dari individu tersebut yang berupa penyakit dan konflik.
Ø  Stressor yang berasal dari lingkungan keluarga yaitu stres yang dihasilkan melalui adanya perilaku, kebutuhan-kebutuhan dan kepribadian masing-masing anggota keluarga yang berdampak bagi anggota keluarga lainnya. Konflik interpersonal ini dapat timbul dari masalah finansial, adanya tujuan yang berbeda dalam keluarga, kematian dari anggota keluarga.
Ø  Stressor yang berasal dari anggota masyarakat  
Ø  Life change-events yaitu peristiwa-peristiwa yang membawa perubahan yang menuntut individu untuk melakukan adaptasi terhadap perilaku tersebut.
Benarkah seorang pendatang pada suatu kebudayaan tertentu akan memiliki personal eustress atau malah menjadi personal distress? Dari berbagai faktor terjadinya migrasi adalah adanya sarana pendidikan yang memenuhi standar kelengkapan dan kualitas. data dari Departemen Luar Negeri Indonesia menyatakan bahwa banyak dari pelajar Indonesia yang melakukan pertukaran pelajar dengan Amerika. Namun, ketidaksesuaian antara budaya asala dengan budaya federal yang dianut oleh Amerika menjadikan stress tersendiri yang berakibat pada personal distress bagi pelajar yang mengalaminya. Menurut laporan NBC, Deplu AS merilis data, sebanyak 50 pelajar SMA melaporkan mengalami pelecehan seksual dari orang tua angkat selama tahun ajaran 2010-2011. Dan banyak dari mereka yang kembali kedaerah asal tanpa adanya dukungan dari organisasi yang mengatur pertukaran mereka atau Deplu.
Dari fenomena diatas dapat dilihat bahwa pelajar dari Indonesia mengalami personal distress  karena ketidakmampuan mereka dalam menyesuaikan diri dengan kebudayaan baru, yang berakibat ketidaktahanan individu untuk tetap tinggal dan belajar di Amerika.
Berbicara tentang personal stress baik itu distress maupun eustress merupakan hal yang sangat berkaitan dengan individual difference berupa usia, jenis kelamin, pendidikan, kesehatan fisik, kepribadian, harga diri, dan toleransi. Dimana stressor yang sama bisa berakibat beda, karena adanya perbedaan tanggapan. Dalam migrasi kepribadian sangat menentukan seseorang mengalami eustress atau distress. Faktor kepribadian A cenderung sulit untuk beradaptasi dengan lingkungan dan lebih mudah terkena penyakit jantung daripada orang yang memiliki kepribadian B. Demikian juga halnya dengan para pendatang, seorang pendatang dari negara maju seperti Amerika, Inggris, dll ke negara berkembang seperti Indonesia akan lebih mudah menyesuaikan diri dengan kebudayaan baru yang dihadapinya. Dan berbagai stressor yang dihadapi tidak menjadikan personal eustress yang tinggi, namun hanya personal eustress biasa karena para pendatang dari negara maju telah terbiasa dalam melakukan adapatasi dengan kebudayaan baru. Namun, pendatang dari negara berkembang ke negara lebih maju cenderung banyak mengalami personal distress karena ketidakmampuan mereka dalam menyesuaikan diri dengan kebudayaan baru .Hal ini didukung dengan berbagai penelitian, diantaranya:
·         Penelitian yang dilakukan pada imigran yang berada disekitar Newyork, terutama imigran dari Afrika dan Asia membuat sekelompok orang terasing, terisolasi menjadi kelompok pinggiran.
·         Penelitian yang dilakukan 1960-an membuktikan bahwa para imigran yang berasal dari luar negara Australia (imigran non Inggris dan Eropa Utara) mengalami skizofernia, sedangkan gejala stress ditemukan hampir seluruh imigran.
·         Dan penelitian yang dilakukan pada para migran Indocina di Amerika Utara, ditemukan bahwa sebanyak 460 kepala keluarga Indocina mengalami gejala alienasi sebagai akibat keterpisahan dari lingkungan sosialkultural mereka, dan berhubungan secara negatif dengan penyesuian diri.
Kesimpulan dari kajian ini bahwa pendatang baru pada suatu kebudayaan hanya mengalami personal eustress biasa karena pada umumnya kebudayaan itu bersifat adaptif, dan kebudayaan itu membekali manusia dengan cara-cara penyesuaian psikologis dan penyesuaian terhadap lingkungan yang bersifat geografis. Dengan demikian berbagai tantangan yang dihadapi akan menjadikan personal eustress dalam diri seseorang dalam mencapai penyesuain terhadap kebudayaan baru, namun tak jarang juga stressor yang ditimbulkan dari kebudayaan baru membuat pendatang tersebut mengalami personal distress akibat ketidakmapuan mereka dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan dan kebudayaan baru.

Pernikahan beda budaya (kontra)


Pernikahan beda budaya dapat meningkatakan psychological well-being pada individu yang mengalaminya
Isma Junida
Kajian kontra
 Negara Indonesia merupakan negara yang memiliki masyarakat majemuk. Kemajemukan tersebut dapat dilihat dengan adanya perbedaan-perbedaan yang jelas dan dapat membedakan diantara mereka (masyarakat Indonesia) suatu suku bangsa sebagai salah satu unsur kemajemukan Indonesia, tersebar dan mendiami seluruh kepulauan nusantara. Di Indonesia terdapat sekitar 380 suku bangsa dan kurang lebih 200 bahasa daerah. Keseluruhan kelompok suku bangsa ini bercorak Bhineka Tunggal Ika, yang merupakan suatu kesatuan utuh yang tidak dapat dicerai-beraikan, masing-masing suku bangsa terwujud sebagai satuan masyarakat dan kebudayaan yang masing-masing berdiri sendiri dan disatukan oleh kekuatan nasional suatu bangsa. Hal ini akan sangat berpeluang besar akan terjadinya perkawinan beda budaya (lintas budaya). Globalisasi yang terjadi juga tidak memungkiri individu untuk melakukan interaksi yang lebih luas, sehingga hal tersebut sangat memungkinkan terjadinya pernikahan lintas budaya maupun lintas bangsa sekalipun.
Pernikahan hakikatnya merupakan suatu ikatan janji setia antara suami dan istri yang di dalamnya terdapat suatu tanggung jawab dari kedua belah pihak. Tseng mengatakan bahwa perkawinan antar etnis (intercultural marriage) adalah perkawinan yang terjadi antara pasangan yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda. Dalam hal ini budaya menjadi suatu aspek yang penting dalam perkawian, dimana pasangan tersebut tentu memiliki nilai-nilai budaya yang dianut, menurut keyakian dan kebiasaan serta adat istiadat dan gaya hidup budaya. Koentjaraninggrat juga menambahkan bahwa dalam perkawinan juga disatukan dua budaya yang berbeda, latar belakang yang berbeda, dan suku yang berbeda. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pernikahan beda budaya merupakan pernikahan yang  terjadi anatar pasangan yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda. Jadi, pernikahan beda budaya adalah pernikahan yang dilakukan antara dua budaya yang berbeda baik itu dalam lingkupan adat, etnis, dan bangsa.
Sedangkan kebudayaan sendiri merupakan suatu identitas yang melekat pada individu yang menggambarkan secara keseluruhan tentang individu tersebut. Bentuk-bentuk kebudayaan tersebut menurut C. Kluckhon antara lain:
Ø  Peralatan dan perlengkapan hidup manusia ( alat-alat rumah tangga, produksi, transportasi dan lain sebagainya)
Ø  Mata pencaharian hidup dan sistem ekonomi
Ø  Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi, hukum dan perkawinan)
Ø  Bahasa
Ø  Kesenian
Ø  Sistem pengetahuan
Ø  Religi
Dan fungsi dari kebudayaan tersebut adalah sebagai wadah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia, melindungi diri dari alam, mengatur hubungan dengan manusia, serta sebagai wadah untuk menyampaikan perasaan. Berbicara tentang migrasi, maka di dalam kebudayaan tersebut juga mengandung norma yang mencakup tata kelakuan, kebiasaan dan cara. Norma sendiri merupakan patokan perilaku dalam suatu kelompok tertentu. Dengan adanya norma seorang pendatang akan mengetahui bagaimana dia akan bertindak sesuai dengan patokan yang berlaku pada suatu daerah. Dalam hal penyesuain diri yang dilakukan pendatang  terhadap suatu kebudayaan tertentu menimbulkan dua bentuk perilaku, yaitu:
Ø  Asimilasi yaitu pembauran dua kebudayaan yang disertai dengan hilangnya ciri khas kebudayaan asli sehingga membentuk kebudayaan baru.
Ø  Akomodasi yaitu pemaburan dua kebudayaan dimana antara kebudayaan baru dan kebudayaan lama masih dipegang kuat.
Dala hal pernikahan, suatu budaya memiliki sistem dan hukum yang mengatur tentang pernikahan dan hal ini sangat berbeda antara budaya satu dan lainnya. Adapun bentuk perkawinan di dalam masyarakat adat, antara lain :
1. Perkawinan Jujur yaitu perkawinan di mana perempuan dilepaskan dari keluargannya untuk masuk ke dalam keluarga laki-laki dengan membayar uang jujur. Pada umumnya terdapat pada masyarakat Patrilineal, guna untuk mempertahankan garis keturunan laki-laki (bapak). Misalnya pada masyarakat Batak Toba menggunakan perkawinan jujur untuk melaksanakan perkawinanya. Maksud dari perkawinan jujur adalah perkawinan ditandai dengan pembayaran jujur oleh kerabat pihak laki-laki kepada kerabat pihak perempuan sebagai tanda penggantian penglepasan perempuan keluar dari kekerabatan bapak dan masuk ke dalam kekerabatan suami.
2. Perkawinan Semanda yaitu perkawinan di mana laki-laki didatangkan atau dijemput oleh pihak perempuan, dan laki-laki tersebut tidak masuk kedalam keluarga perempuan melainkan masih tetap menjadi anggota keluarga asalnya. Pada umumnya pada masyarakat Matrilineal untuk mempertahankan garis keturunan perempuan (ibu). Misalnya pada masyarakat Minangkabau, Bengkulu, Lampung pesisir dan Ambon.
3. Perkawinan Mentas yaitu perkawinan yang tidak mengutamakan kekerabatan salah satu pihak Pada umumnya dipakai pada masyarakat Bilateral yang menarik garis keturunan serentak dari bapak-ibu. Misalnya pada masyarakat Jawa.

Lain halnya dengan sistem pernikahan atau perkawinan, kemajemukan suku dan adat membuat sistem pernikahan berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Adapun sistem-sistem pernikahan yang terdapat di indonesia, antara lain:
1.      Sistim Endogami
Dalam sistim ini hanya diperbolehkan kawin dengan seorang dari suku keluarganya sendiri. Sistim perkawinan terdapat di daerah Toraja.
2.      Sistim Exogami
Dalam sistim ini orang diharuskan kawin dengan orang di luar suku keluarganya. Sistim ini terdapat di daerah Gayo, Alas, Tapanuli, Mingkabau, Sumatera Selatan, Buru dan Seram.
3.      Sistim eleutherogami
Di mana seorang pria tidak lagi diharuskan atau dilarang untuk mencari calon istri di luar atau di dalam lingkungan kerabat/suku melainkan dalam batas-batas hubungan keturunan dekat (nasab) atau periparan (musyaharah). Sistim ini terdapat di Aceh, Sumatera Timur, Bangka, Bliton, Kalimantan, Minahasan.
Dalam pelaksanaanya di masyarakat, sangat jarang keluarga menikahkan anaknya dengan sesorang yang berlainan suku, karena strata yang terdapat dalam suku yang berbeda mungkin saja lebih rendah atau lebih tinggi, sehingga menjadi penghinaan tersendiri bagi keluarga jika anak mereka melakukan pernikahan dengan strata atau kelas sosial yang lebih rendah. Fenomena ini sering kita temukan di bali, Aceh, Keraton Jawa, dan masih banyak lagi. Seseorang yang berasal dari strata raja biasanya disebut Teuku bagi laki-laki diharuskan untuk menikahi perempuan yang memiliki strata yang sama Cut, dan tidak dibolehkan untuk menikahi orang yang memiliki strata yang lebih rendah darinya. Bahkan dalam satu sejarah tentang “Adek adun si malelang” mencatat bahwa adanya hukuman mati bagi pasangan yang menikah dengan adat yang berbeda. Pernikahan dalam budaya yang sama namun berbeda dalam stratanya saja sudah susah, apalagi pernikahan yang dilaksanakan bagi antar budaya yang berbeda, tentu sangatlah tidak mungkin dan sangat mustahil untuk mencapai sebuah kesejahteraan dan kebahagian dalam berumah tangga.
Umumnya tujuan dari sebuah pernikahan adalah mewujudkan hidup bersama dalam ikatan cinta kasih untuk mendapatkan keturunan demi kelangsungan hidup manusia, serta memperoleh ketenangan dan kesejahteraan dalam berumah tangga. Kesejahteraan dalam psikologi umumnya dikenal dengan istilah well being. Well being sendiri merupakan keadaan dimana seseorang memiliki sikap positif yang dapat menghargai dirinya sendiri dan orang lain.Memiliki tujuan hidup dan membuat hidup mereka menjadi jauh lebih optimal. Well being terbagi 2, yaitu subjective well being dan psychological well being. Namun, berkaitan dengan mosi. Maka dalam hal ini hanya dibahas tentang psychological well being (PWB).
Berdasarkan defenisi dari beberapa tokoh. Diantaranya:
a.       Menurut Shek psychological well being merupakan keadaan seseorang yang sehat secara mental yang memiliki sejumlah kualitas kesehatan mental yang positif seperti penyesuaian aktif terhadap lingkungan dan kesatuan kepribadian.
b.      Menurut Ryff, PWB adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kesehatan psikologis individu berdasarkan pemenuhan kriteria fungsi psikologi positif. Kesejahteraan psikologis adalah suatu kondisi psikologis individu yang sehat ditandai dengan berfungsinya aspek-aspek psikologis positif dalam prosesnya mencapai aktualisasi diri. Menurut Ryff (1989) gambaran tentang karakteristik orang yang memiliki kesejahteraan psikologis merujuk pada pandangan Rogers tentang orang yang berfungsi penuh (fully-functioning person), pandangan Maslow tentang aktualisasi diri (self actualization), pandangan Jung tentang individuasi, konsep Allport tentang kematangan. Juga sesuai dengan konsep Erikson dalam menggambarkan individu yang mencapai integrasi dibanding putus asa, konsep Neugarten tentang kepusaan hidup, serta kriteria positif tentang orang yang bermental sehat yang dikemukakan Johada.
Dalam hal ini PWB memiliki enam dimensi, diantaranya:
Pertama, penerimaan diri (self-acceptance), individu yang mimiliki penerimaan diri menunjukkan karakteristik: memiliki sikap positif terhadap dirinya, mengakui dan menerima berbagai aspek yang ada dalam dirinya, baik yang bersifat baik maupun buruk; serta merasa positif dengan kehidupan masa lalunya.
Kedua, hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others), karakter yang ditunjukkan oleh indiviu yang memiliki hubungan positif dengan orang lain, mempunyai kehangatan dan kepuasan, berhubungan berdasarkan kepercayaan, perhatian terhadap kesejahteraan orang lain, mempunyai empati yang kuat, memiliki afek, dan kedekatan.
Ketiga, Otonomi (Autonomy),yaitu kemampuan melakukan dan mengarahkan perilaku secara mandiri, penuh keyakinan diri. Individu yang mampu melakukan aktualisasi diri dan berfungsi penuh memiliki keyakinan dan kemandirian, sehingga dapat mencapai prestasi dengan memuaskan.
Keempat, tujuan hidup (Purpose in Life), mental yang sehat meliputi adanya keyakinan bahwa dapat melakukan sesuatu bagi orang lain adalah tujuan hidup seseorang.
Kelima, perkembangan pribadi dan (Personal growth), berfungsi secara optimal tidak saja diartikan sebagai telah tercapainya prestasi di waktu yang lalu, namun juga dapat terus mengembangkan potensi diri, disesuaikan dengan kapasitas periode perkembangannya.
Keenam, pengusaan terhadap lingkungan (environmental mastery), mental yang sehat dikarakteritikkan dengan kemampuan individu untk memiliki atau menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi fisiknya.
Jadi, individu dikatakan memiliki atau bisa mencapai PWB apabila kehidupan yang dijalaninya mencakup enam dimensi tadi. Dalam hal ini, perlu digarisbawahi bahwa PWB tersebut  bersifat eudamonik: seseorang dikatakan sejahtera bila mengisi hidupnya dengan hal-hal yang bermakna, yang bertujuan, yang berguna bagi kesejahteraan orang lain dan pertumbuhan dirinya sendiri.
Setiap pasangan yang telah melakukan pernikahan, tentu sangat berharap akan terbentuk dan meningkatnya sebuah kesejahteraan psikologis, namun hal tersebut sangat sulit diraih apabila pernikahan tersebut berasal dari dua kebudayaan yang berbeda. Jika ditinjau dari segi dimensi, pasangan yang menikah dengan latar belakang budaya yang berbeda akan sulit untuk melakukan penerimaan dii seutuhnya dari pasangan maupun keluarga besarnya, karena orang tersebut memiliki prinsip tersendiri yang sangat berbeda dari orang lain. Dimensi hubungan positif, hal ini sangat jelas sekali bahwa individu yang melangsungkan pernikahan beda budaya akan sangat kesulitan dalam hal melakukan hubungan positif dengan orang lain. Dimana hubungan positif ini dicirikan dengan timbulnya empati terhadap kesejahteraan orang lain baik itu sesama pasangan maupun keluarga besarnya. Selain itu, individu yang melangsungkan pernikahan beda budaya sangat sulit bahkan mustahil sekali untuk menguasai lingkungan karena adanya perbedaan dari segi sistem, adat dll dengan budaya asalnya. Hal ini sesuai dengat data yang menyebutkan bahwa permasalahn dalam pernikahan antar bangsa adalah dalam penyesuian pola komunikasi yang menuntut saling pengertian, karena berasal dari budaya yang berbeda. Budaya indonesia dan bangasa Asia (Budaya Timur) umumnya memiliki jenis komunikasi High Context Comunication, dimana apa yang diucapkan belum tentu sama dengan maksud yang sebenarnya. Sementara budaya di negara-negara barat lebih ke arah Low Context Commun ication, yaitu mengemukakanapa yang ingin disampaikan secara tegas dan apa adanya di depan publik, apa yang disampaikan adalah apa yang dirasakan. Kurangnya pengertian antara sesama pasangan beda budaya, sering memunculkan miss communication yang akan berakibat pada konflik dan berakhir pada perceraian.
Di Indonesia pernikahan bukanlah hal yang mudah seperti yang dilakukan di negara-negara lain. Pernikahan bukan hanya penyatuan antara satu individu dengan individu yang lain. Namun, pernikahan merupakan penyatuan antara dua individu yang berbeda beserta seluruh keluarga besar dari pasangan tersebut. Dalam melakukan persiapan pernikahan meliputi pakaian yang akan digunakan, tempat pelaksanaan pernikahan, tamu yang akan diundang, belum lagi souvernir untuk para undangan. Persiapan pernikahan yang sesama budaya saja sudah sangat menyulitkan, apalagi persiapan pernikahan dengan beda budaya yang sangat sulit menyatukan pendapat.
Dari segi perkembangan dewasa awal, umumnya seseorang memiliki daya tarik dan menentukan untuk menikahi seseorang karena adanya kesamaan dengan orang tersebut ( validitas konsentual). Hal ini dilakukan karena seseorang lebih mudah mengontrol, memprediksi dan melakukan coping yang baik pada saat terjadi konflik dalam berumah tangga serta akan timbulnya kesejahteraan psikologis (psychological well being) dalam berumah tangga, dan tentunya pasangan suami istri yang mencapai psychological well being akan langgeng dalam menjalani lika-liku kehidupan pernikahannya.
Penelitian yang dilakukan Abigail tahun 2009 terhadap pasangan inggris (suami) dan indonesia (istri), menyebutkan bahwa kendala yang dihadapi umumnya kendala bahasa, perbedaan nilai dan perbedaan pola perilaku kultural. Ketiga kendala tersebut memang nyata terlihat, dan kendala tersebut sudah diketahui sejak awal, namun tetap saja tidak bisa terselesaikan dan perbedaan-perbedaan tadi berakhir pada perpisahan atau perceraian.




Perbedaan dalam etnis bukanlah merupakan penghalang utama
individu yang bersangkutan terhadap eksistensi pelestarian budaya leluhur dalam melakukan sebuah
pernikahan. Karena pada dasarnya, dalam kehidupan budaya, masyarakat Tionghoa masih berusaha
mempertahankan identitas budaya nenek moyang mereka, meskipun terkadang budaya lain turut
mempengaruhi tampilannya. Contoh pernikahan adalah pernikahan yang dilangsungkan dengan penduduk pribumi surabaya dengan warga tionghoa.