Jumat, 01 Maret 2013

Perpaduan suku aceh dan padang


Perpaduan Antara Suku Aceh Dan Padang
Studi Kasus Di Desa Pasar Baru Kecamatan Blang Pidie, Kabupaten ABDYA
Isma Junida Mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Email: Ismajunida@yahoo.co.id
Mukaddimah
Nanggroe Aceh Darussalam merupakan salah satu daerah yang diberi keistimewaan oleh pemerintah Indonesi terhadap kebudayaan dan pelaksanaan syariat islam. Pengakuan Negara atas keistimewaan dan kekhususan daerah Aceh terakhir diberikan melalui Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (LN 2006 No 62, TLN 4633). UU Pemerintahan Aceh ini tidak terlepas dari Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 dan merupakan suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, serta politik di Aceh secara berkelanjutan.
Beranekaragaman kebudayaan, tradisi dan adat istiadat yang terdapat di Aceh sangatlah menarik jika dipelajari lebih lanjut. Blang Pidie yang merupakan salah satu kecamatan dari kabupaten ABDYA memiliki keunuikan yang khusus dari asal muasal suku yang berkembang di dalamnya. Bahkan, jika diteliti secara keseluruhan daerah ini memiliki keunikan dari percampuran dua suku yang sangat berbeda dari substansi serta asal bentuknya.
Suku Aceh yang bertempat tinggal di kecamatan tersebut merupakan suku asli daerah tersebut. Suku ini memiliki tradisi serta adat istiadat yang khusus yang telah lama dikembangkan oleh nenek moyang mereka. Adapun suku Minangkabau sebagai suku pendatang dari Padang merupakan suku yang juga memiliki kebudayaan khusus yang membedakan suku mereka dengan lainnya.
Namun, perpindahan penduduk yang disebabkan adanya peperangan yang terjadi pada waktu silam serta migrasi yang dilakukan suku Minangkabau untuk mengadu nasib di Aceh, membuat mereka menetap di daerah Aceh. Dalam perkembangannya kedua suku tersebut akrab disebut dengan “suku Jamee”.
Kerangka Kerja Teoritik
Interaksi Sosial
Secara garis besar, interaksi sosial dapat didefenisikan sebagai sebuah hubungan sosial yang dinamis, yang menyangkut hubungan antara individu, antara kelompok maupun antara individu dengan kelompok.
Adapun syarat-syarat terjadinya sebuah interaksi sosial adalah sebagai berikut:
1.      Adanya kontak sosial (social contact), yang dapat berlangsung dalam tiga bentuk, yaitu antarindividu, antarindividu dengan kelompok, antarkelompok yang dapat bersifat langsung dan tidak langsung.
2.      Adanya komunikasi, dimana seseorang memberi arti pada sebuah perilaku orang lain, dan orang yang bersangkutan memberi respon dari penyampaian yang telah dilakukan oleh orang tersebut (Soerjono Soekanto,2006).
Dalam pelaksanaannya sebuah interaksi sosial dapat berbentuk kerja sama (cooperation), persaingan (competition), akomodasi (acomodation), dan juga dapat berbentuk pertentangan atau pertikaian (conflict) (Gilin dan Gillin dalam Soerjono Soekanto, 2006).
Dalam setiap interaksi senantiasa di dalamnya mengimplikasikan adanya komunikasi antar pribadi. Demikian pola sebaliknya, setiap komunikasi pribadi senantiasa mengandung interaksi. Sulit untuk memisahkan antara keduanya, atas dasar itu, Shaw membedakan interaksi menjadi tiga jenis, yaitu ( Muhammad Ali. 2005):
a.         Interaksi verbal terjadi apabila dua orang atau lebih melakukan suatu kontak satu sama lain dengan menggunakan alat-alat artikulasi, prosesnya terjadi dalam bentuk tukar percakapan satu sama lain.
b.        Interaksi fisik terjadi manakala dua orang atau lebih melakukan kontak dengan menggunakan bahasa-bahasa tubuh. Misalnya ekspresi wajah, posisi tubuh, gerak-gerak tubuh dan kontak mata.
c.         Interaksi emosional terjadi manakala melakukan kontak satu sama lain dengan menggunakan curahan perasaan, misalnya mengeluarkan air mata sebagai tanda sedih, haru, atau bahkan terlalu bahagia.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa interaksi sosial merupakan kunci utama dari semua kehidupan sosial karena tanpa adanya interaksi sosial, tak akan mungkin ada kehidupan bersama dan terbentuknya sebuah masyarakat.
Masyarakat
1.      Masyarakat Setempat
Masyarakat sebagai unsur berdirinya sebuah kebudayaan yang merupakan unsur lahirnya sebuah adat istiadat dan tradisi. Dalam perkembangan sebuah masyarakat sangatlah berperan penting dalam meningkatkan dan mengembangkan sebuah kebudayaan, sehingga kebudayaan tersebut menjadi sebuah peradaban yang maju dan dikenal diseluruh penjuru dunia. Masyarakat merupakan sebuah istilah dalam bahasa inggris disebut society (berasal dari bahasa Latin socius, yang berarti “kawan”) yang sangat lazim digunakan dalam tulisan-tulisan ilmiah dan bahasa sehari-hari. Dalam arti lain, kata masyarakat sendiri berasal dari bahasa Arab syaraka, yang artinya ikut serta, atau berperanserta” (Koentjaraninggrat, 1966).
Sedangkan istilah community dapat diterjemahkan sebagai “masyarakat setempat”, kata ini menunjuk pada warga sebuah desa, kota, suku, atau bangsa. Dengan demikian, kriteria yang utama bagi adanya suatu masyarakat setempat adalah adanya social relationship antara anggota suatu kelompok. Jadi, dapat disimpulkan secara singkat bahwa masyarakat setempat adalah suatu wilayah kehidupan sosial yang ditandai oleh suatu derajat hubungan sosial yang tertentu (Soerjono Soekanto, 2006).
Secara garis besar, masyarakat setempat berfungsi sebagai ukuran untuk menggarisbawahi hubungan antara hubungan-hubungan sosial dengan suatu wilayah geografis tertentu. Empat kriteria untuk klasifikasi masyarakat, yaitu: (R.M. Maclver dan Charles dalam Soerjono Soekanto, 2006):
a.       Jumlah penduduk.
b.      Luas, kekayaan, dan kepadatan penduduk daerah pedalaman.
c.       Fungsi-fungsi khusus dari masyarakat setempat terhadap seluruh masyarakat.
d.      Organisasi masyarakat setempat yang bersangkutan.
Jadi, sebuah masyarakat dapat diartikan sebagai sejumlah penduduk yang mendiami sebuah daerah yang memiliki hubungan-hubungan khusus dan saling berinteraksi dalam masyarakat tersebut.
Kajian Tentang Kebudayaan
Kebudayaan sangatlah dekat dengan kehidupan kita, kebudayaan merupakan hasil dari imajinasi masyarakat yang dituangkan dalam bentuk paling indah.  Dua orang antropolog terkemuka, yaitu Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski, mengemukakan bahwa Cultural Determinism berarti segala sesuatu yang terdapat di dalam masyarakat ditentukan adanya oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu ( Brentano’s dalam Soerjono Soekanto, 2006).
Kata “kebudayaan” berasal dari kata (bahasa Sansekerta) buddhayah yang merupakan bentuk jamak kata “buddhi” yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai “hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal”. Bila dinyatakan secara lebih sederhana, kebudayaan adalah segala sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama secara sosial oleh para anggota suatu masyarakat.
Seorang antropolog C. Kluckhkohn (Soerjono Soekanto, 2006) di dalam sebuah karyanya Universal Categories of Culture menyebutkan tujuh unsur kebudayaan yang dianggap sebagai cultural universalis, yaitu:
1.        Peralatan dan perlengkapan hidup manusia.
2.        Mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi.
3.        Sistem kemasyarakatan.
4.        Bahasa.
5.        Kesenian
6.        Sistem pengetahuan
7.        Religi

1.      Kebudayaan dan Masyarakat
Definisi klasik kebudayaan yang disusun oleh Sir Edward Tylor (dalam Paul B. Horton & Chester L. Hunt, 1984) menyebutkan “Kebudayaan adalah kompleks keseluruhan dari pengetahuan, keyakinan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan semua kemampuan dan kebiasaan yang lain yang diperoleh oleh seseorang sebagai anggota masayarakat.” Bila dinyatakan secara lebih sederhana, kebudayaan adalah segala sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama secara sosial oleh para anggota suatu masyarakat.
Kebudayaan sendiri dapat dibagi ke dalam kebudayaan materi dan nonmateri. Kebudayaan nonmateri terdiri dari kata-kata yang digunakan orang, hasil pemikiran, adat istiadat, keyakinan yang mereka anut, dan kebiasaan yang mereka ikuti. Sedangkan kebudayaan materi adalah kebudayaan yang terdiri dari benda-benda hasil pabrik. Sedangkan masyarakat adalah suatu organisasi manusia yang saling berhubungan satu sama lain. Batas-batas kedua konsep masyarakat dan kebudayaan, tidaklah begitu tegas (Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, 1984).
1.      Komunikasi Bahasa Dan Komunikasi Simbolik
Beberapa buku dan artikel majalah yang sangat populer telah menciptakan istilah “bahasa tubuh” untuk perubahanarti yang diperagakan melalui gerak isyarat dan sikap tubuh (Schelflen, 1973). Lebih lanjut, meskipun “bahasa tubuh” mungkin merupakan suatu bentuk komunikasi, itu bukanlah bahasa yang sebenarnya, karena bahasa terbatas pada komunikasi simbol.

2.      Kebudayaan Sebagai Sistem Norma
Sering kita jumpai bahwa kebudayaan menyangkut aturan yang harus diikuti,  kita mengatakan bahwa kebudayaan bersifat normatif, dengan kata lain kita mengatakan bahwa kebudayaan menentukan standar perilaku. Suatu norma budaya adalah suatu konsep yang diharapkan ada. Kadang-kadang norma statitis dianggap sebagai kebudayaan yang “nyata” dan norma kebudayaan sebagai kebudayaan yang “ideal”. Norma statitis adalah suatu ukuran dari perilaku yang sebenarnya, disetujui atau tidak.
Kebudayaan adalah suatu sistem norma-norma semacam itu yang rumit cara-cara merasa dan bertindak yang diharapkan yang distandardisasi yang dikenal dan diikuti secara umum oleh para anggota masyarakat. Adapun unsur-unsur kebudayaan itu sendiri adalah:
a.         Kebiasaan
Kebiasaan (folkways) hanyalah suatu cara yang lazim yang wajar dan diulang-ulang dalam melakukan sesuatu oleh sekelompok orang.
b.        Tata kelakuan
Tata kelakuan adalah gagasan yang kuat mengenai salah dan  yang menuntut tindakan tertentu dari melarang yang lain (Mores adalah bentuk jamak dari kata Latin mos, tetapi bentuk tunggalnya jarang muncul dalam literatur sosiologi).
c.         Lembaga
Suatu lembaga adalah sistem hubungan sosial yang terorganisasi yang mewujudkan nilai-nilai dan tata cara umum tertentu dan memenuhi kebutuhan dasar masyarakat tertentu.
d.        Hukum
Suatu hukum berfungsi untuk memperkuat tata kelakuan.
e.         Nilai
Nilai adalah gagasan mengenai apakah pengalaman berarti atau tidak berarti.
3.      Struktur Kebudayaan
Struktur kebudayaan bukanlah hanya akumulasi dari kebiasaan (folkways) dan tata kelakuan (mores), tetapi suatu sistem perilaku yang terorganisasi. Hal-hal tersebut mencakup (Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, 1984):
a.         Kebudayaan Khusus (Subcultures) dan Kebudayaan Tandingan (Counterculture)
Kebudayaan Khusus merupakan pola perilaku yang di satu pihak berkaitan dengan kebudayaan umum masyarakat tersebut, tetapi di pihak lain sangat berbeda dengan pihak lain. Adapun kebudayaan Tandingan (Counterculture) adalah kebudayaan khusus yang berlawanan dengan kebudayaan induk.
b.        Perpaduan Kebudayaan
Sejogjanya, kebudayaan adalah sistem yang terpadu, di mana setiap unsur cocok dengan unsur kebudayaan yang lain. Namun, para teoritis mengatakan bahwa dalam suatu kebudayaan terpadu yang tenang juga sering ditemukan pertentangan-pertentangan kelas dan ketidakadilan yang mengintai.
c.         Relativisme Kebudayaan
Relativisme suatu kebudayaan merupakan fungsi dan arti dari suatu unsur yang merupakan hubungan dengan lingkungan/keadaan kebudayaannya. Dalam konsep relativisme, suatu kebudayaan tidak berarti bahwa semua adat istiadat mempunyai nilai yang sama dan juga tidak mengetahui bahwa kebiasaan tertentu pasti merugikan.

4.      Kebudayaan Real dan Kebudayaan Ideal
Suatu kebudayaan dikatakan ideal apabila kebudayaan tersebut mencakup tata kelakuan dan kebiasaan yang secara formal disetujui yang diharapkan diikuti oleh banyak orang (norma-norma budaya); sedangkan suatu kebudayaan real adalah kebudayaan yang mencakup hal-hal yang betul-betul dilaksanakan oleh suatu masyarakat yang memiliki kebudayaan tersebut.
5.      Etnosentrisme
Dalam suatu kebudayaan sering dijumpai etnosentrisme, dimana kebiasaan setiap kelompok untuk menganggap kebudayaan kelompoknya sebagai kebudayaan yang paling baik. Levine dan Campbell (Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, 1984) menyusun 23 segi “sindroma etnosentrisme universal”, dimana etnosentrisme merupakan suatu tanggapan manusiawi yang universal, yang ditemukan dalam seluruh masyarakat yang dikenal, dalam semua kelompok dan praktisnya dalam seluruh individu.
Sejalan dengan perkembangannya, etnosentrisme memberikan pengaruh terhadap pengukuhan nasionalisme dan patriotisme. Tanpa etnosentrisme, kesadaran nasionl maupun etnik yang penuh semangat tidak mungkin akan terjadi. Namun, dalam situasi-situasi tertentu, etnosentrisme dapat meningkatkan kestabilan kebudayaan dan kelangsungan hidup kelompok; dalam situasi lain, etnosentrisme dapat meruntuhkan kebudayaan dan memusnahkan kelompok.
6.      Xenosentrisme
Shil dan Wilson (Conrad Philip Kottak, 2005) mengatakan xenosentrisme adalah suatu pandangan yang lebih menyukai hal-hal yang berbau asing, kebaliakn dari etnosentrisme. Faham ini didasarkan pada daya tarik  yang asing dan yang jauh serta yang dibawa dari pusat kebudayaan yang jauh, yang dianggap jauh dari batas-batas lingkungan masyarakat sendiri yang kotor.
7.      Gerak Kebudayaan
Manusia dalam perkembangannya selalu mengalamin perubahan dalam berbagai bidang. Dalam suatu kebudayaan manusia juga melakukan gerak di dalam suatu masyarakat yang menjadi wadah pada kebudayaan tersebut, hal ini disebut dengan gerak kebudayaan. Dalam suatu gerak kebudayaan kita mengenal istilah asimilasi dan akulturasi.
a.                   Asimilasi
Asimilasi merupakan sebuah proses-proses sosial yang ditandai dengan adanya usaha-usaha mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat antara orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia serta usaha-usaha untuk mempertinggi kesatuan tindak, sikap dan proses-proses mental dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan bersama (Soerjono Soekanto, 2006). Proses asimilasi tersebut akan timbul apabila, yaitu:
1.        Kelompok-kelompok manusia yang berbeda kebudayaannya.
2.        Orang-perorangan sebagai warga kelompok tadi saling bergaul secara langsung dan intesif untuk waktu yang lama sehingga;
3.        Kebudayaan-kebudayaan dari kelompok-kelompok manusia tersebut masing-masing berubah dan saling menyesuaikan diri.
Suatu proses asimilasi bisa terjadi apabila terdapat faktor-faktor pendukung, namun bisa saja tidak terjadi apabila dalam proses tersebut terdapat faktor-faktor penghambat asimilasi. Adapun faktor-faktor yang mendukung asimilasi, yaitu:
1.        Toleransi.
2.        Kesempatan di bidang ekonomi yang seimbang.
3.        Mengharagai kebudayaan lain.
4.        Terbuka.
5.        Terdapat persamaan unsur kebudayaan.
6.        Adanya perwakilan campuran dan musuh bersama di luar.
Namun, tidak jarang juga asimilasi tersebut tidak akan terjadi apabila terdapat faktor-faktor penghambat, yaitu:
1.        Terdapat kehidupan yang terisolasi.
2.        Kurangnya pengetahuan terhadap budaya lainnya.
3.        Adanya perasaan takut terhadap budaya lain.
4.        Adanya perbedaan ciri fisik dan in-Group feeling yang kuat.
5.        Adanya perbedaan kepentingan.

b.                  Akulturasi
Koentjaraninggrat (dalam Soerjono Soekanto, 2006) menyebutkan bahwa akulturasi merupakan sebuah proses  yang terjadi apabila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan asing yang berbeda sedemikian rupa sehingga unsur-unsur kebudayaan asing tersebut dengan lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri.

Proses akulturasi dan asimilasi yang berjalan dengan baik dapat menghasilkan integrasi antara unsur-unsur kebudayaan asing dengan unsur-unsur kebudayaan sendiri dengan unsur kebudayaan sendiri, namun apabila tidak berjalan dengan baik akan menimbulkan berbagai masalah yang menyebabkan terjadinya perpecahan pada kehidupan sosial bermasyarakat.
Metode
Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan femenologi dengan teknik pengumpulan data dengan observasi dan wawancara. Pendekatan dengan femenologi berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap obyek penelitian yaitu warga kecamatan Blang Pidie dalam situasi dan realitas kebudayaan. Obyek penelitian dalam observasi ini mencakup tiga komponen yaitu kecamatan Blang Pidie (place), masyarakat setempat (actor), dan perpaduan kebudayaan (aktivitas). Wawancara yang digunakan adalah wawancara semiterstruktur (semistructure interview) yaitu teknik pelaksanaan wawancara lebih bebas sehingga menemukan permasalahan lebih terbuka, dimana pihak yang diajak wawancara dalam penelitian ini adalah warga kecamatan Blang Pidie dan Kepala Lorong desa Pasar Baru diminta pendapat dan ide-ide mereka tentang realitas kebudayaan yang terjadi ( Esterberg dalam Prof. Dr. Sugiyono, 2011).
Hasil dan Diskusi
Pola Interaksi Sosial
Kabupaten Aceh Barat Daya (ABDYA) merupakan kabupaten administratif yang otonom sejak tanggal 10 April 2002 melalui Undang-Undang Nomor 4 tahun 2002 (Wilkipedia, Indonesia). Sebelumnya kecamatan ini bergabung dengan kabupaten Aceh Selatan dengan ibu kota kabupaten Tapaktuan. Dilihat dari sudut pandang geografis, kota ini terletak digugusan pegunungan Bukit Barisan dan berhadapan dengan Samudera Hindia, kabupaten ini berbatasan dengan Gayo Luwes arah timur dan utara, Aceh Selatan dan Samudera Hindia di selatan dan Nagan Raya dari arah barat. Kabupaten ini terdiri dari 9 kecamatan dan 29 kelurahan.
Adapun kecamatan yang terdapat pada kabupaten Aceh Barat Daya adalah kecamatan Babah Rot (1 mukim, dan 7 desa/kelurahan), Blang Pidie (1 mukim, dan 29 desa/kelurahan), Jeumpa (4 mukim, dan 10 desa/kelurahan), Kuala Batee (3 mukim, dan 18 desa/kelurahan), Lembah Sabil (3 mukim, dan 12 desa/kelurahan), Manggeng (1 mukim, dan 29 desa/kelurahan), Setia (2 mukim, dan 6 desa/kelurahan), Susoh (4 mukim, dan 28 desa/kelurahan), Tangan-Tangan (1 mukim, 21 desa/kelurahan) (Ensiklopedia Aceh, 2005).
Berdasarkan hasil survei Master Wilayah Skema 456 Kabupaten/Kota (Keadaan Desember 2007), wilayah daerah Blang Pidie tercatat seluas 893,01 Km yang terdiri dari 29 kelurahan, diantaranya yaitu Pasar Blang Pidie, Geulumpang Payong, Keude siblah dan Meudang Ara. Pasar Blang Pidie atau lebih akrab disebut dengan Pasar Baru merupakan bagian dari wilayah kecamatan Blang Pidie. Adapun jumlah penduduk yang bermukim pada daerah tersebut lebih kurang sekitar 1000 orang, dan penduduk yang bermukim di daerah sekitar didominasi oleh para pendatang khususnya penduduk dari Sumatera Barat, Padang (Wawancara 1, 24 April 2012).
Kecamatan ini didominasi oleh dua suku yaitu suku Aceh dan suku Padang (Minangkabau). Kedua suku tersebut memiliki bahasa yang berbeda antara satu dengan lainnya sehingga sulit untuk terwujudnya sebuah interaksi sosial. Sebuah komunikasi tidak akan bisa terjadi, karena pada sebuah perilaku orang lain, orang yang bersangkutan tidak memberi respon dari penyampaian yang telah dilakukan oleh orang tersebut, dikarenakan perbedaan bahasa yang sulit dimengerti antar kedua suku tersebut.
Jika ditelusuri dari sejarah, ketika berlangsungnya perang paderi, para pejuang paderi mulai terjepit oleh serangan kolonial Belanda. Minangkabau pada saat itu adalah bagian dari kerajaan Aceh mengirim bantuan balatentara. ketika keadaan makin kritis rakyat terpaksa di eksoduskan, pada saat itu mulailah Rakyat Minangkabau bertebaran di pantai Barat Selatan Aceh. Aneuk Jamee di Aceh Barat Daya, menempati di daerah-daerah pesisir yang dekat dengan laut. Kemungkinan besar yang bisa disimpulkan bahwa jalur perpindahan nenek moyang dulu adalah dari jalur ini, yang sebagian besar dari mereka dulu hidup dari berkebun dan melaut.
Berdasarkan pendapat Gilin dan Gillin (dalam Soerjono Soekanto, 2006) yang menyebutkan bahwa sebuah interaksi akan terbentuk salah satunya dengan adanya akomodasi pada sebuah masyarakat. Menurut Gilin dan Gillin sebuah akomodasi merupakan sebuah adaptasi yang dilakukan pada suatu kelompok tertentu untuk menyesuaikan dirinya dengan keadaan sekitar. Dalam hal ini, kedua suku yang terdapat pada kabupaten Aceh Barat Daya (ABDYA) melakukan sebuah akomodasi dalam menentukan bahasa yang digunakan dalam interaksi sehari-hari. Sehingga pada akhirnya bahasa padang tetap digunakan dengan berasimilasi dengan bahasa Aceh yang kemudian menjadi bahasa “Jamee”. Tidak terdapat perubahan yang besar pada bahasa tersebut, hanya beberapa konsonan dan vokal yang sedikit diubah untuk menyesuaikan dengan bahasa Aceh. Bahasa Jamee sendiri tersebar luas hampir diseluruh daerah Blang Pidie diantaranya: Susoh (Jamee murni), Pasar Baru ( Jamee murni), Manggeng (Jamee plural). Pada daerah tertentu seperti Aceh Barat, bahasa Jamee hanya dituturkan dikalangan orangtua saja, namun pada daerah Blang Pidie bahasa ini kerap digunakan sebagai bahasa komunikasi sehari-hari (lingua Frana).
Komunitas Aneuk Jamee tidak terkonsentrasi pada tempat tertentu, melainkan menyebar, misalnya dalam suatu kecamatan tidak semuanya didomisili  oleh suku aneuk jamee saja, namun bercampur dengan Aceh. Perbedaan desa sajalah yang hanya membedakan komunitas tersebut. Namun,  di desa itu dapat juga kita jumpai orang berbicara dua bahasa, Aceh dan jamee/minang. Hal ini disebabkan karena adanya hubungan famili yang berbahasa aceh di desa lain.
Pada objek penelitian, penulis menemukan bahwa dari beberapa komunitas aneuk jamee itu tidak bisa berbahasa aceh, hal tersebut berkaitan dengan komunitas dan pergaulan komunitas tempat tinggalnya. Seperti halnya Pasar Baru, rata-rata penduduknya memang tidak bisa berbahasa aceh secara baik dan benar, dikarenakan komunitas di kota itu bahasa pergaulannya adalah bahasa jamee itu sendiri. Dominan penduduk yang berdomisili pada daerah ini berasal dari Padang, Sumatera Barat.
Berdasarkan potensi wilayah, kabupaten ABDYA khususnya kelurahan Pasar Baru memiliki wilayah yang sangat gersang dan tidak memiliki potensi di bidang pertanian, perairan, dan pertambangan. Mayoritas mata pencaharian penduduk disini adalah berdagang. Sehingga dalam syair Aceh daerah ini sangat populer dengan “nafsu minta peng jak ue Blang Pidie” (Syair Rafli “Kisah Gampong Loen). Banyak dari suku pendatang (Minangkabau) mengadu nasib mereka dengan berdagang untuk memenuhi kehidupan sehari-hari.
Organisasi dan lembaga di setiap daerah tentu berbeda, Blang Pidie memiliki sebutan khusus untuk menyebut organisasi dan lembaga pada daerahnya. Setiap kecamatan yang terdapat di Blang Pidie dibagi atas Mukim. Mukim adalah kesatuan masyarakat hukum di bawah kecamatan yang terdiri atas gabungan beberapa Gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu yang dipimpin oleh Imeum Mukim atau nama lain dan berkedudukan langsung di bawah Camat.
Mukim dibagi atas kelurahan dan Gampong. Kelurahan dibentuk di wilayah kecamatan dengan Qanun Kabupaten/Kota yang dipimpin oleh Lurah yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan dari Bupati/Walikota. Kelurahan di Provinsi Aceh dihapus secara bertahap menjadi Gampong atau nama lain dalam Kabupaten/Kota. Gampong atau nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang berada di bawah Mukim dan dipimpin oleh Keuchik atau nama lain yang berhak menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri.
Secara garis besar, suatu masyarakat berfungsi sebagai ukuran untuk menggarisbawahi hubungan antara hubungan-hubungan sosial dengan suatu wilayah geografis tertentu. Dan setiap anggota masyarakat senantiasa selalu ikut berpartisipasi dan terlibat dalam proses-proses sosial yang terjadi pada suatu masyarakat.
Realitas Budaya yang terjadi
Perpaduan antarsuku Aceh dan Padang tentu menghasilkan kebudayaan, tradisi serta adat istiadat yang beraneka ragam. Umumnya, sebuah perpaduan kebudayaan tetap akan memunculkan sebuah kebudayaan yang mendominasi kebudayaan yang tersaingi. Paul B. Horton dan Chester L. Hunt mengatakan bahwa sebuah kebudayaan dan masyarakat tidak memiliki batas-batas konsep yang terlalu tegas. Sehingga sungguh sangat memungkinkan terjadinya perpaduan satu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya.
Kebudayaan sendiri terbagi ke dalam kebudayaan materi dan nonmateri. Kebudayaan materi yang terdapat yang terdapat pada daerah berbeda denga daerah lainnya. Sebagai daerah yang paling awal penyebaran islam, daerah Aceh khususnya Blang Pidie banyak menggunakan tulisan Arab Melayu yang kerap dijumpai di berbagai papan bangunan. Tulisan Arab Melayu tersebut merupakan identitas Aceh sebagai daerah paling awal berkembangnya islam di Nusantara.
Berbagai tulisan Arab Melayu yang kerap dijumpai di berbagai papan bangunan merupakan sebuah identitas Aceh sebagai daerah paling awal masuknya islam di Nusantara. Adapun huruf Arab Melayu itupun tumbuh dan berkembang dari Wilayah Aceh. Awal mulanya Islam masuk ke Aceh, terjadilah islamisasi dalam berbagai bidang kehidupan, seperti seni-budaya dan lain sebagainya. Hal tersebut dilakukan untuk memudahkan dan menarik para warga Aceh dalam memeluk islam. Untuk tulisan Arab-Melayu dibuat penyesuaian, dan akhirnya huruf Arab ini diberi nama huruf Arab Melayu (bahasa Aceh: harah Jawoe).
Sejauh ini perkembangan tulisan Jawoe tersebut hanya dilakukan oleh Badan Dayah NAD yang pernah melaksanakan penataran penulisan Arab Melayu pada tahun 2006 dan 2007 dengan salah seorang nara sumbernya, Drs.Mohd.Kalam Daud, M.Ag tersebut. Sebenarnya, para guru yang mengasuh mata pelajaran TAI-lah yang semestinya diberikan bimbingan khusus mengenai penulisan TAI itu. Karena merekalah yang langsung mengajari muridnya di kelas. Namun, kegiatan demikian belum terdengar sampai saat ini (Wawancara 2, 25 April 2012).
Penyelenggaraan pemerintahan Kabupaten/Kota berpedoman pada asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang memiliki kekhususan dalam asas keislaman. Penyelenggaraan Pemerintahan Kabupaten/Kota terdiri atas DPRK. Susunan organisasi ini diatur lebih lanjut dalam Qanun. Dalam hal ini, qanun mengatur pelaksanaan syariat Islam yang meliputi bidang aqidah, syaria’ah, dan akhlak (UU No.11 Tahun 2006).
Setipa pemeluk agama Islam di Aceh wajib menaati dan mengamalkan syari’at Islam. Dan setiap orang yang bertempat tinggal atau berada di Aceh wajib menghormati pelaksanaan syari’at Islam. Pemerintahan Aceh khususnya Pemerintahan Kabupaten/Kota menjamin kebebasan, membina kerukunan, menghormati nilai-nilai agama yang dianut oleh umat beragama dan melindungi sesama umat beragama untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama yang dianutnya.
Dalam pelaksanaannya, orang-orang yang melanggar syari’at Islam akan dihukumi cambuk seperti yang dilakukan oleh budaya timur. Pada saat hukuman akan berlangsung setiap petugas atau lebih akrab disebut dengan polisi syari’ah menghimbau para warga untuk menyaksikan secara langsung hukum cambuk tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala lorong setempat mengatakan bahwa “ Selama ini hukuman cambuk diberikan terhadap sanksi pelaku zina dan pemain judi, untuk kasus yang terkait dengan pemerintahan masih belum terlaksana dan dihukum secara syariat” tutur Pak Hamdan selaku kepala lorong daerah tersebut.
Hal yang paling unik dijumpai dari suku jamee adalah tradisi pada hari Meugang (hari magang). Tradisi ini dikenal dengan tradisi Mambantai dan Balamang. Kedua tradisi ini selalu dilaksanakan setiap tahun sebelum ramadhan. Mambantai adalah tradisi penyembelihan hewan yang nantinya dimasak untuk keperluan Meugang. Kegiatan ini dilakukan oleh kaum laki-laki. Mereka berkumpul di sebidang tanah yang cukup luas. Prosesi ini dipimpin oleh seorang pawang (kadang dipimpin oleh Imam Chik mesjid atau Meunasah ) yang benar-benar memahami tata cara dan doa dalam penyembelihan dan dibantu oleh beberapa orang yang bertugas mengikat kaki dan merebahkan hewan yang akan disembelih dengan posisi menghadap kiblat. Sampai pada proses pemotongan daging dan siap dimasak oleh kaum perempuan. Selain itu, dihari yang sama ada pula tradisi Balamang yang dilaksanakan oleh hampir semua keluarga disana. Balamang berarti tradisi memasak lemang. Uniknya Lemang tersebut dimasak bersama-sama oleh semua malamang. Malamang perempuan yang ada dalam keluarga yang biasanya diikuti oleh tiga generasi; nenek, ibu dan anak perempuan (hasil pengamatan penulis).
Balamang berarti tradisi memasak lemang. Uniknya lemang tersebut dimasak bersama-sama oleh malamang perempuan yang ada dalam keluarga yang biasanya diikuti oleh tiga generasi; nenek, ibu dan anak perempuan. Mereka mendapat porsi tugas masing-masing sesuai usia. Nenek dianggap orang yang paling ahlu dalam memasak lemang. Ia bertugas sebagai orang yang mengaduk semua bahan dengan takaran yang sesuai. Ia bertugas sebagai orang yang mengaduk semua bahan dengan takaran yang sesuai. Selain itu ia juga yang paling mengerti cara memasukkan beras ke dalam bambu. Generasi yang lebih muda kebagian tugas mencari, memotong dan memebersihkan bambu untuk memasak lemang. Suatu hal yang menjadi pantangan bahwa bambu (buluh) tidak boleh dilangkahi karena dapat menyebabkan beras ketan yang dimasak di dalam buluh tersebut alak akan keluar (menjulur) saat proses pemanggangan (dibakar di bara api) dalam posisi berdiri bersandar pada besi tungku. Biasanya bambu dicuci di sungai dengan menggunakan sabut kelapa untuk mengikis miang yang melekat pada bambu (buluh) agar tidak gatal lagi. Gerakan menggosok batang bambu juga ditentukan yaitu satu arah, tidak boleh bolak-balik untuk mencegah miang tadi melekat kembali. Gerakannya juga tidak boleh terlalu keras agar tidak merusak buluh. Generasi kedua ini juga bertugas memeras santan dengan memisahkan santan dengan memisahkan santan kental dan encer. Sedangkan generasi ketiga adalah generasi yang sudah harus mempelajari cara memasak lemang. Ia harus memperhatikan dengan baik setiap prosesnya. Tugasnya lebih ringan, mulai dari mencari daun pisang, lalu memilih dan memotong daun muda yang tidak mudah robek untuk dimasukkan ke dalam buluh lemang. Ia juga harus mencuci beras hingga bersih.
Tata cara serta ketentuan yang berlaku pada suatu adat istiadat serta  tradisi pada daerah ini, harus dilakukan secara runtut dan tidak diperbolehkan diganti dengan sesuatu apapun. Bahkan menurut mitos yang berkembang pada warga daerah Pasar Baru Kecamatan Blang Pidie mengatakan bahwa apabila terdapat salah satu warga yang tidak melaksanakan tradisi sesuai dengan ketentuan yang berlaku, kemungkinan akan ditimpa musibah pada keluarganya dan dijauhkan rezeki serta jodohnya (Wawancara 2, 25 April 2012).
Suku Jamee pada kabupaten ABDYA khususnya daerah Blang Pidie sangat mengagungkan relativisme kebudayaan. Dimana setiap orang memiliki pemahaman bahwa setiap kebudayaan memiliki unsur yang sama dan tidak bisa dipastikan terdapat budaya atau tradisi yang merugikan. Sehingga dalam perkembangannya, sangat jarang ada kebudayaan asli yang terhapus pada kedua suku tersebut. Suku Aceh tetap melaksanakan tradisi dan adat istiadat Aceh, begitu pula sebaliknya dengan suku Minangkabau, antar kedua suku sangat jarang ditemukan pertentangan dan pertikaian yang berkaitan dengan kebudayaan yang mereka anut.
Levine dan Campbell (dalam Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, 1984) menyatakan bahwa dalam suatu kebudayaan sering dijumpai etnosentrisme, dimana suatu kelompok atau suku menganggap kebudayaannya yang paling baik. Fenomena yang ditemukan pada wilayah observasi penulis, antar suku sangat menghormati kebudayaan masing-masing tidak ada yang mendominasi antar adat istiadat maupun kebiasaan yang terdapat pada daerah tersebut. Dalam tradisi bertaji, segala jenis makanan khas kedua suku dihidangkan, agar kekerabatan dan kerukunan tetap terjalin dengan baik. Walaupun tanpa etnosentrisme, pengukuhan suatu kebudayaan tetap akan terjaga pada daerah Blang Pidie.
Kesimpulan
Keanekaragaman kebudayaan di Indonesia tak bisa dipungkiri adanya asimilasi antara satu suku dengan suku lainnya, antar budaya dengan budaya lainnya. Aceh sendiri sebagai sebuah provinsi yang terdapat di Indonesia memiliki berbagai suku, diantaranya suku Gayo, Aceh, Melayu, Jamee, dan masih banyak lainnya. Suku Aneuk Jamee adalah kombinasi dari budaya Aceh dan Budaya Minangkabau. Penyebutan Jamee sendiri merupakan sebuah sebutan penghormatan terhadap tamu atau pendatang yang menetap di Aceh.
Dalam kehidupan sehari-sehari kedua suku tersebut melakukan interaksi dengan menggunakan bahasa Jamee. Bahasa Jamee sendiri merupakan perpaduan antara bahasa Aceh dan bahasa Padang. Suku yang terdapat pada kabupaten Aceh Barat Daya (ABDYA) melakukan sebuah akomodasi dalam menentukan bahasa yang digunakan dalam interaksi sehari-hari. Sehingga pada akhirnya bahasa padang tetap digunakan dengan berasimilasi dengan bahasa Aceh yang kemudian menjadi bahasa “Jamee”. Tidak terdapat perubahan yang besar pada bahasa tersebut, hanya beberapa konsonan dan vokal yang sedikit diubah untuk menyesua  ikan dengan bahasa Aceh.
Pola kebudayaan antar kedua suku menghasilkan tradisi dan adat istiadat yang sangat unik, dimana pada setiap tradisi dan adat istiadat masih memunculkan kebudayaan khas dari kedua suku tersebut. Tradisi yang sering dilakukan pada kedua suku tersebut adalah tradisi “Bertaji”, yaitu sebuah Ritual makan bersama yang sering dilakukan para warga merupakan bentuk kerja sama (cooperation) antara dua suku yaitu suku Aceh dan suku Minangkabau. Ritual bertaji ini menghasilkan perpaduan suku yang sekarang dikenal dengan Aneuk Jamee. Berbagai jenis makanan yang dihidangkan dalam ritual tersebut merupakan perpaduan makanan khas dari suku Aceh dan Minangkabau. Ritual bertaji ini juga menjadi momen yang sangat penting bagi suku Minangkabau untuk melepas rindu pada kampung halamannya.
Tradisi dan adat istiadat tertentu bisa dijumpai pada saat penyambutan dan peringatan hari besar seperti pada saat penyambutan bulan suci Ramadhan dan lebaran Idul Fitri maupun Idul Adha banyak dari warga setempat melakukan tradisi Balamang dan Mambantai, yang sampai saat ini masih dilakukan bahkan tanpa tradisi ini, sebuah perayaan dan peringatan tersebut tidak akan berarti apa-apa.
Asimilasi yang terjadi pada kecamatan ini sangat jarang menimbulkan pertikaian dan pertentangan antara kedua suku tersebut. Pemerintahan pada daerah tersebut benar-benar mengatur sedemikian rupa tatanan kehidupan masyarakat sekitar, sehingga kerukunan dan kekerabatan tetap terjalin dengan baik.
Daftar Pustaka
Ali, Muhammada. 2005. Psikologi Remaja. Jakarta: Bumi Aksara.
B. Horton, Paul dan Chester L. Hunt. 1984. Sosiologi. Jakarta: Erlangga
Ensiklopedia Aceh. 2005
Jahi Utama, Amri. 1993. Komunikasi Massa dan Pembangunan Perdesaan di Negara- Negara dunia Ketiga: Suatu Pengantar. Jakarta: Pustaka Utama
Koentjaraninggrat. 1996. Pengantar Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta
Philip Kottak, Conrad. 2005. Mirror for Humanity. Mc Graw
Soekanto, Soerjono. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajagrafindo
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R & D. Bandung: Alfabeta.
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (LN 2006 No 62, TLN 4633). Wilkipedia Indonesia diunduh 12 Juni 2012.