Perpaduan Antara Suku Aceh Dan Padang
Studi Kasus Di Desa Pasar Baru Kecamatan Blang Pidie, Kabupaten
ABDYA
Isma Junida Mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Maulana Malik Ibrahim
Malang
Email: Ismajunida@yahoo.co.id
Mukaddimah
Nanggroe
Aceh Darussalam merupakan salah satu daerah yang diberi keistimewaan oleh
pemerintah Indonesi terhadap kebudayaan dan pelaksanaan syariat islam. Pengakuan
Negara atas keistimewaan dan kekhususan daerah Aceh terakhir diberikan melalui
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (LN 2006 No 62, TLN
4633). UU Pemerintahan Aceh ini tidak terlepas dari Nota Kesepahaman
(Memorandum of Understanding) antara Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka yang
ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 dan merupakan suatu bentuk
rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, serta
politik di Aceh secara berkelanjutan.
Beranekaragaman kebudayaan, tradisi dan adat istiadat
yang terdapat di Aceh sangatlah menarik jika dipelajari lebih lanjut. Blang
Pidie yang merupakan salah satu kecamatan dari kabupaten ABDYA memiliki
keunuikan yang khusus dari asal muasal suku yang berkembang di dalamnya.
Bahkan, jika diteliti secara keseluruhan daerah ini memiliki keunikan dari
percampuran dua suku yang sangat berbeda dari substansi serta asal bentuknya.
Suku Aceh yang bertempat tinggal di kecamatan tersebut
merupakan suku asli daerah tersebut. Suku ini memiliki tradisi serta adat
istiadat yang khusus yang telah lama dikembangkan oleh nenek moyang mereka.
Adapun suku Minangkabau sebagai suku pendatang dari Padang merupakan suku yang
juga memiliki kebudayaan khusus yang membedakan suku mereka dengan lainnya.
Namun, perpindahan penduduk yang disebabkan adanya
peperangan yang terjadi pada waktu silam serta migrasi yang dilakukan suku
Minangkabau untuk mengadu nasib di Aceh, membuat mereka menetap di daerah Aceh.
Dalam perkembangannya kedua suku tersebut akrab disebut dengan “suku Jamee”.
Kerangka Kerja Teoritik
Interaksi Sosial
Secara garis
besar, interaksi sosial dapat didefenisikan sebagai sebuah hubungan sosial yang
dinamis, yang menyangkut hubungan antara individu, antara kelompok maupun
antara individu dengan kelompok.
Adapun syarat-syarat terjadinya sebuah interaksi sosial adalah
sebagai berikut:
1.
Adanya
kontak sosial (social contact), yang dapat berlangsung dalam tiga bentuk, yaitu
antarindividu, antarindividu dengan kelompok, antarkelompok yang dapat bersifat
langsung dan tidak langsung.
2.
Adanya
komunikasi, dimana seseorang memberi arti pada sebuah perilaku orang lain, dan
orang yang bersangkutan memberi respon dari penyampaian yang telah dilakukan
oleh orang tersebut (Soerjono Soekanto,2006).
Dalam pelaksanaannya sebuah interaksi sosial dapat berbentuk kerja
sama (cooperation), persaingan (competition), akomodasi (acomodation), dan juga
dapat berbentuk pertentangan atau pertikaian (conflict) (Gilin dan Gillin dalam
Soerjono Soekanto, 2006).
Dalam setiap interaksi senantiasa di dalamnya mengimplikasikan
adanya komunikasi antar pribadi. Demikian pola sebaliknya, setiap komunikasi
pribadi senantiasa mengandung interaksi. Sulit untuk memisahkan antara
keduanya, atas dasar itu, Shaw membedakan interaksi menjadi tiga jenis, yaitu (
Muhammad Ali. 2005):
a.
Interaksi
verbal terjadi apabila dua orang atau lebih melakukan suatu kontak satu sama
lain dengan menggunakan alat-alat artikulasi, prosesnya terjadi dalam bentuk
tukar percakapan satu sama lain.
b.
Interaksi
fisik terjadi manakala dua orang atau lebih melakukan kontak dengan menggunakan
bahasa-bahasa tubuh. Misalnya ekspresi wajah, posisi tubuh, gerak-gerak tubuh
dan kontak mata.
c.
Interaksi
emosional terjadi manakala melakukan kontak satu sama lain dengan menggunakan
curahan perasaan, misalnya mengeluarkan air mata sebagai tanda sedih, haru,
atau bahkan terlalu bahagia.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa interaksi sosial merupakan
kunci utama dari semua kehidupan sosial karena tanpa adanya interaksi sosial,
tak akan mungkin ada kehidupan bersama dan terbentuknya sebuah masyarakat.
Masyarakat
1.
Masyarakat
Setempat
Masyarakat sebagai unsur berdirinya sebuah kebudayaan yang
merupakan unsur lahirnya sebuah adat istiadat dan tradisi. Dalam perkembangan
sebuah masyarakat sangatlah berperan penting dalam meningkatkan dan
mengembangkan sebuah kebudayaan, sehingga kebudayaan tersebut menjadi sebuah
peradaban yang maju dan dikenal diseluruh penjuru dunia. Masyarakat merupakan
sebuah istilah dalam bahasa inggris disebut society (berasal dari bahasa
Latin socius, yang berarti “kawan”) yang sangat lazim digunakan dalam
tulisan-tulisan ilmiah dan bahasa sehari-hari. Dalam arti lain, kata masyarakat
sendiri berasal dari bahasa Arab syaraka, yang artinya ikut serta, atau
berperanserta” (Koentjaraninggrat, 1966).
Sedangkan istilah community dapat diterjemahkan sebagai “masyarakat
setempat”, kata ini menunjuk pada warga sebuah desa, kota, suku, atau bangsa.
Dengan demikian, kriteria yang utama bagi adanya suatu masyarakat setempat
adalah adanya social relationship antara anggota suatu kelompok. Jadi, dapat
disimpulkan secara singkat bahwa masyarakat setempat adalah suatu wilayah
kehidupan sosial yang ditandai oleh suatu derajat hubungan sosial yang tertentu
(Soerjono Soekanto, 2006).
Secara garis besar, masyarakat setempat berfungsi sebagai ukuran
untuk menggarisbawahi hubungan antara hubungan-hubungan sosial dengan suatu
wilayah geografis tertentu. Empat kriteria untuk klasifikasi masyarakat, yaitu:
(R.M. Maclver dan Charles dalam Soerjono Soekanto, 2006):
a.
Jumlah
penduduk.
b.
Luas,
kekayaan, dan kepadatan penduduk daerah pedalaman.
c.
Fungsi-fungsi
khusus dari masyarakat setempat terhadap seluruh masyarakat.
d.
Organisasi
masyarakat setempat yang bersangkutan.
Jadi, sebuah masyarakat dapat diartikan sebagai sejumlah penduduk
yang mendiami sebuah daerah yang memiliki hubungan-hubungan khusus dan saling
berinteraksi dalam masyarakat tersebut.
Kajian Tentang Kebudayaan
Kebudayaan sangatlah dekat dengan kehidupan kita, kebudayaan
merupakan hasil dari imajinasi masyarakat yang dituangkan dalam bentuk paling
indah. Dua orang antropolog terkemuka,
yaitu Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski, mengemukakan bahwa Cultural
Determinism berarti segala sesuatu yang terdapat di dalam masyarakat
ditentukan adanya oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu (
Brentano’s dalam Soerjono Soekanto, 2006).
Kata “kebudayaan” berasal dari kata (bahasa Sansekerta) buddhayah
yang merupakan bentuk jamak kata “buddhi” yang berarti budi atau akal.
Kebudayaan diartikan sebagai “hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal”.
Bila dinyatakan secara lebih sederhana, kebudayaan adalah segala sesuatu yang
dipelajari dan dialami bersama secara sosial oleh para anggota suatu
masyarakat.
Seorang antropolog C. Kluckhkohn (Soerjono Soekanto, 2006) di dalam
sebuah karyanya Universal Categories of Culture menyebutkan tujuh unsur
kebudayaan yang dianggap sebagai cultural universalis, yaitu:
1.
Peralatan
dan perlengkapan hidup manusia.
2.
Mata
pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi.
3.
Sistem
kemasyarakatan.
4.
Bahasa.
5.
Kesenian
6.
Sistem
pengetahuan
7.
Religi
1.
Kebudayaan
dan Masyarakat
Definisi klasik kebudayaan yang disusun oleh Sir Edward Tylor
(dalam Paul B. Horton & Chester L. Hunt, 1984) menyebutkan “Kebudayaan
adalah kompleks keseluruhan dari pengetahuan, keyakinan, kesenian, moral,
hukum, adat istiadat dan semua kemampuan dan kebiasaan yang lain yang diperoleh
oleh seseorang sebagai anggota masayarakat.” Bila dinyatakan secara lebih
sederhana, kebudayaan adalah segala sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama
secara sosial oleh para anggota suatu masyarakat.
Kebudayaan sendiri dapat dibagi ke dalam kebudayaan materi dan
nonmateri. Kebudayaan nonmateri terdiri dari kata-kata yang digunakan orang,
hasil pemikiran, adat istiadat, keyakinan yang mereka anut, dan kebiasaan yang
mereka ikuti. Sedangkan kebudayaan materi adalah kebudayaan yang terdiri dari
benda-benda hasil pabrik. Sedangkan masyarakat adalah suatu organisasi manusia
yang saling berhubungan satu sama lain. Batas-batas kedua konsep masyarakat dan
kebudayaan, tidaklah begitu tegas (Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, 1984).
1.
Komunikasi
Bahasa Dan Komunikasi Simbolik
Beberapa buku dan artikel majalah yang sangat populer telah
menciptakan istilah “bahasa tubuh” untuk perubahanarti yang diperagakan melalui
gerak isyarat dan sikap tubuh (Schelflen, 1973). Lebih lanjut, meskipun “bahasa
tubuh” mungkin merupakan suatu bentuk komunikasi, itu bukanlah bahasa yang
sebenarnya, karena bahasa terbatas pada komunikasi simbol.
2.
Kebudayaan
Sebagai Sistem Norma
Sering kita jumpai bahwa kebudayaan menyangkut aturan yang harus
diikuti, kita mengatakan bahwa
kebudayaan bersifat normatif, dengan kata lain kita mengatakan bahwa kebudayaan
menentukan standar perilaku. Suatu norma budaya adalah suatu konsep yang
diharapkan ada. Kadang-kadang norma statitis dianggap sebagai kebudayaan yang
“nyata” dan norma kebudayaan sebagai kebudayaan yang “ideal”. Norma statitis
adalah suatu ukuran dari perilaku yang sebenarnya, disetujui atau tidak.
Kebudayaan adalah suatu sistem norma-norma semacam itu yang rumit
cara-cara merasa dan bertindak yang diharapkan yang distandardisasi yang
dikenal dan diikuti secara umum oleh para anggota masyarakat. Adapun
unsur-unsur kebudayaan itu sendiri adalah:
a.
Kebiasaan
Kebiasaan (folkways) hanyalah suatu cara yang lazim yang wajar dan
diulang-ulang dalam melakukan sesuatu oleh sekelompok orang.
b.
Tata
kelakuan
Tata
kelakuan adalah gagasan yang kuat mengenai salah dan yang menuntut tindakan tertentu dari melarang
yang lain (Mores adalah bentuk jamak dari kata Latin mos, tetapi bentuk
tunggalnya jarang muncul dalam literatur sosiologi).
c.
Lembaga
Suatu
lembaga adalah sistem hubungan sosial yang terorganisasi yang mewujudkan
nilai-nilai dan tata cara umum tertentu dan memenuhi kebutuhan dasar masyarakat
tertentu.
d.
Hukum
Suatu
hukum berfungsi untuk memperkuat tata kelakuan.
e.
Nilai
Nilai adalah gagasan mengenai apakah pengalaman berarti atau tidak
berarti.
3.
Struktur
Kebudayaan
Struktur kebudayaan bukanlah hanya akumulasi dari kebiasaan
(folkways) dan tata kelakuan (mores), tetapi suatu sistem perilaku yang
terorganisasi. Hal-hal tersebut mencakup (Paul B. Horton dan Chester L.
Hunt, 1984):
a.
Kebudayaan
Khusus (Subcultures) dan Kebudayaan Tandingan (Counterculture)
Kebudayaan
Khusus merupakan pola perilaku yang di satu pihak berkaitan dengan kebudayaan
umum masyarakat tersebut, tetapi di pihak lain sangat berbeda dengan pihak
lain. Adapun kebudayaan Tandingan (Counterculture) adalah kebudayaan khusus
yang berlawanan dengan kebudayaan induk.
b.
Perpaduan
Kebudayaan
Sejogjanya,
kebudayaan adalah sistem yang terpadu, di mana setiap unsur cocok dengan unsur
kebudayaan yang lain. Namun, para teoritis mengatakan bahwa dalam suatu
kebudayaan terpadu yang tenang juga sering ditemukan pertentangan-pertentangan
kelas dan ketidakadilan yang mengintai.
c.
Relativisme
Kebudayaan
Relativisme
suatu kebudayaan merupakan fungsi dan arti dari suatu unsur yang merupakan
hubungan dengan lingkungan/keadaan kebudayaannya. Dalam konsep relativisme,
suatu kebudayaan tidak berarti bahwa semua adat istiadat mempunyai nilai yang
sama dan juga tidak mengetahui bahwa kebiasaan tertentu pasti merugikan.
4.
Kebudayaan
Real dan Kebudayaan Ideal
Suatu kebudayaan dikatakan ideal apabila kebudayaan tersebut
mencakup tata kelakuan dan kebiasaan yang secara formal disetujui yang
diharapkan diikuti oleh banyak orang (norma-norma budaya); sedangkan suatu
kebudayaan real adalah kebudayaan yang mencakup hal-hal yang betul-betul
dilaksanakan oleh suatu masyarakat yang memiliki kebudayaan tersebut.
5.
Etnosentrisme
Dalam suatu kebudayaan sering dijumpai etnosentrisme, dimana
kebiasaan setiap kelompok untuk menganggap kebudayaan kelompoknya sebagai
kebudayaan yang paling baik. Levine dan Campbell (Paul B. Horton dan Chester L.
Hunt, 1984) menyusun 23 segi “sindroma etnosentrisme universal”, dimana
etnosentrisme merupakan suatu tanggapan manusiawi yang universal, yang
ditemukan dalam seluruh masyarakat yang dikenal, dalam semua kelompok dan
praktisnya dalam seluruh individu.
Sejalan dengan perkembangannya, etnosentrisme memberikan pengaruh
terhadap pengukuhan nasionalisme dan patriotisme. Tanpa etnosentrisme,
kesadaran nasionl maupun etnik yang penuh semangat tidak mungkin akan terjadi.
Namun, dalam situasi-situasi tertentu, etnosentrisme dapat meningkatkan
kestabilan kebudayaan dan kelangsungan hidup kelompok; dalam situasi lain,
etnosentrisme dapat meruntuhkan kebudayaan dan memusnahkan kelompok.
6.
Xenosentrisme
Shil dan Wilson (Conrad Philip Kottak, 2005) mengatakan
xenosentrisme adalah suatu pandangan yang lebih menyukai hal-hal yang berbau
asing, kebaliakn dari etnosentrisme. Faham ini didasarkan pada daya tarik yang asing dan yang jauh serta yang dibawa
dari pusat kebudayaan yang jauh, yang dianggap jauh dari batas-batas lingkungan
masyarakat sendiri yang kotor.
7.
Gerak
Kebudayaan
Manusia dalam perkembangannya selalu mengalamin perubahan dalam
berbagai bidang. Dalam suatu kebudayaan manusia juga melakukan gerak di dalam
suatu masyarakat yang menjadi wadah pada kebudayaan tersebut, hal ini disebut
dengan gerak kebudayaan. Dalam suatu gerak kebudayaan kita mengenal
istilah asimilasi dan akulturasi.
a.
Asimilasi
Asimilasi merupakan sebuah proses-proses sosial yang ditandai
dengan adanya usaha-usaha mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat antara
orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia serta usaha-usaha untuk
mempertinggi kesatuan tindak, sikap dan proses-proses mental dengan
memperhatikan kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan bersama (Soerjono
Soekanto, 2006). Proses asimilasi tersebut akan timbul apabila, yaitu:
1.
Kelompok-kelompok
manusia yang berbeda kebudayaannya.
2.
Orang-perorangan
sebagai warga kelompok tadi saling bergaul secara langsung dan intesif untuk
waktu yang lama sehingga;
3.
Kebudayaan-kebudayaan
dari kelompok-kelompok manusia tersebut masing-masing berubah dan saling
menyesuaikan diri.
Suatu proses asimilasi bisa terjadi apabila terdapat faktor-faktor
pendukung, namun bisa saja tidak terjadi apabila dalam proses tersebut terdapat
faktor-faktor penghambat asimilasi. Adapun faktor-faktor yang mendukung
asimilasi, yaitu:
1.
Toleransi.
2.
Kesempatan
di bidang ekonomi yang seimbang.
3.
Mengharagai
kebudayaan lain.
4.
Terbuka.
5.
Terdapat
persamaan unsur kebudayaan.
6.
Adanya
perwakilan campuran dan musuh bersama di luar.
Namun, tidak jarang juga asimilasi tersebut tidak akan terjadi
apabila terdapat faktor-faktor penghambat, yaitu:
1.
Terdapat
kehidupan yang terisolasi.
2.
Kurangnya
pengetahuan terhadap budaya lainnya.
3.
Adanya
perasaan takut terhadap budaya lain.
4.
Adanya
perbedaan ciri fisik dan in-Group feeling yang kuat.
5.
Adanya
perbedaan kepentingan.
b.
Akulturasi
Koentjaraninggrat (dalam Soerjono Soekanto, 2006) menyebutkan bahwa
akulturasi merupakan sebuah proses yang
terjadi apabila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan asing yang
berbeda sedemikian rupa sehingga unsur-unsur kebudayaan asing tersebut dengan
lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri.
Proses akulturasi dan asimilasi yang berjalan dengan baik dapat
menghasilkan integrasi antara unsur-unsur kebudayaan asing dengan unsur-unsur
kebudayaan sendiri dengan unsur kebudayaan sendiri, namun apabila tidak
berjalan dengan baik akan menimbulkan berbagai masalah yang menyebabkan
terjadinya perpecahan pada kehidupan sosial bermasyarakat.
Metode
Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan femenologi
dengan teknik pengumpulan data dengan observasi dan wawancara. Pendekatan
dengan femenologi berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya
terhadap obyek penelitian yaitu warga kecamatan Blang Pidie dalam situasi dan
realitas kebudayaan. Obyek penelitian dalam observasi ini mencakup tiga
komponen yaitu kecamatan Blang Pidie (place), masyarakat setempat (actor),
dan perpaduan kebudayaan (aktivitas). Wawancara yang digunakan adalah
wawancara semiterstruktur (semistructure interview) yaitu teknik
pelaksanaan wawancara lebih bebas sehingga menemukan permasalahan lebih terbuka,
dimana pihak yang diajak wawancara dalam penelitian ini adalah warga kecamatan
Blang Pidie dan Kepala Lorong desa Pasar Baru diminta pendapat dan ide-ide
mereka tentang realitas kebudayaan yang terjadi ( Esterberg dalam Prof. Dr.
Sugiyono, 2011).
Hasil dan Diskusi
Pola Interaksi Sosial
Kabupaten Aceh Barat Daya (ABDYA) merupakan kabupaten administratif
yang otonom sejak tanggal 10 April 2002 melalui Undang-Undang Nomor 4 tahun
2002 (Wilkipedia, Indonesia). Sebelumnya kecamatan ini bergabung dengan kabupaten
Aceh Selatan dengan ibu kota kabupaten Tapaktuan. Dilihat dari sudut pandang
geografis, kota ini terletak digugusan pegunungan Bukit Barisan dan berhadapan
dengan Samudera Hindia, kabupaten ini berbatasan dengan Gayo Luwes arah timur
dan utara, Aceh Selatan dan Samudera Hindia di selatan dan Nagan Raya dari arah
barat. Kabupaten ini terdiri dari 9 kecamatan dan 29 kelurahan.
Adapun kecamatan yang terdapat pada kabupaten Aceh Barat Daya
adalah kecamatan Babah Rot (1 mukim, dan 7 desa/kelurahan), Blang Pidie (1
mukim, dan 29 desa/kelurahan), Jeumpa (4 mukim, dan 10 desa/kelurahan), Kuala
Batee (3 mukim, dan 18 desa/kelurahan), Lembah Sabil (3 mukim, dan 12
desa/kelurahan), Manggeng (1 mukim, dan 29 desa/kelurahan), Setia (2 mukim, dan
6 desa/kelurahan), Susoh (4 mukim, dan 28 desa/kelurahan), Tangan-Tangan (1
mukim, 21 desa/kelurahan) (Ensiklopedia Aceh, 2005).
Berdasarkan hasil survei Master Wilayah Skema 456 Kabupaten/Kota
(Keadaan Desember 2007), wilayah daerah Blang Pidie tercatat seluas 893,01 Km
yang terdiri dari 29 kelurahan, diantaranya yaitu Pasar Blang Pidie, Geulumpang
Payong, Keude siblah dan Meudang Ara. Pasar Blang Pidie atau lebih akrab
disebut dengan Pasar Baru merupakan bagian dari wilayah kecamatan Blang Pidie.
Adapun jumlah penduduk yang bermukim pada daerah tersebut lebih kurang sekitar
1000 orang, dan penduduk yang bermukim di daerah sekitar didominasi oleh para
pendatang khususnya penduduk dari Sumatera Barat, Padang (Wawancara 1, 24 April
2012).
Kecamatan ini
didominasi oleh dua suku yaitu suku Aceh dan suku Padang (Minangkabau). Kedua suku
tersebut memiliki bahasa yang berbeda antara satu dengan lainnya sehingga sulit
untuk terwujudnya sebuah interaksi sosial. Sebuah komunikasi tidak akan bisa
terjadi, karena pada sebuah
perilaku orang lain, orang yang bersangkutan tidak memberi respon dari
penyampaian yang telah dilakukan oleh orang tersebut, dikarenakan perbedaan
bahasa yang sulit dimengerti antar kedua suku tersebut.
Jika ditelusuri dari sejarah, ketika berlangsungnya
perang paderi, para pejuang paderi mulai terjepit oleh serangan kolonial
Belanda. Minangkabau pada saat itu adalah bagian dari kerajaan Aceh mengirim
bantuan balatentara. ketika keadaan makin kritis rakyat terpaksa di eksoduskan,
pada saat itu mulailah Rakyat Minangkabau bertebaran di pantai Barat Selatan
Aceh. Aneuk Jamee di Aceh Barat Daya, menempati di daerah-daerah pesisir yang
dekat dengan laut. Kemungkinan besar yang bisa disimpulkan bahwa jalur
perpindahan nenek moyang dulu adalah dari jalur ini, yang sebagian besar dari
mereka dulu hidup dari berkebun dan melaut.
Berdasarkan pendapat Gilin dan Gillin (dalam Soerjono
Soekanto, 2006) yang menyebutkan bahwa sebuah interaksi akan terbentuk salah
satunya dengan adanya akomodasi pada sebuah masyarakat. Menurut Gilin dan
Gillin sebuah akomodasi merupakan sebuah adaptasi yang dilakukan pada suatu
kelompok tertentu untuk menyesuaikan dirinya dengan keadaan sekitar. Dalam hal
ini, kedua suku yang terdapat pada kabupaten Aceh Barat Daya (ABDYA) melakukan
sebuah akomodasi dalam menentukan bahasa yang digunakan dalam interaksi
sehari-hari. Sehingga pada akhirnya bahasa padang tetap digunakan dengan
berasimilasi dengan bahasa Aceh yang kemudian menjadi bahasa “Jamee”. Tidak
terdapat perubahan yang besar pada bahasa tersebut, hanya beberapa konsonan dan
vokal yang sedikit diubah untuk menyesuaikan dengan bahasa Aceh. Bahasa Jamee sendiri tersebar luas hampir diseluruh daerah Blang
Pidie diantaranya: Susoh (Jamee murni), Pasar Baru ( Jamee murni), Manggeng
(Jamee plural). Pada daerah tertentu seperti Aceh Barat, bahasa Jamee hanya
dituturkan dikalangan orangtua saja, namun pada daerah Blang Pidie bahasa ini
kerap digunakan sebagai bahasa komunikasi sehari-hari (lingua Frana).
Komunitas Aneuk Jamee tidak terkonsentrasi pada tempat
tertentu, melainkan menyebar, misalnya dalam suatu kecamatan tidak semuanya
didomisili oleh suku aneuk jamee saja,
namun bercampur dengan Aceh. Perbedaan desa sajalah yang hanya membedakan
komunitas tersebut. Namun, di desa itu
dapat juga kita jumpai orang berbicara dua bahasa, Aceh dan jamee/minang. Hal
ini disebabkan karena adanya hubungan famili yang berbahasa aceh di desa lain.
Pada objek penelitian, penulis menemukan bahwa dari
beberapa komunitas aneuk jamee itu tidak bisa berbahasa aceh, hal tersebut
berkaitan dengan komunitas dan pergaulan komunitas tempat tinggalnya. Seperti
halnya Pasar Baru, rata-rata penduduknya memang tidak bisa berbahasa aceh
secara baik dan benar, dikarenakan komunitas di kota itu bahasa pergaulannya
adalah bahasa jamee itu sendiri. Dominan penduduk yang berdomisili pada daerah
ini berasal dari Padang, Sumatera Barat.
Berdasarkan potensi wilayah, kabupaten ABDYA khususnya
kelurahan Pasar Baru memiliki wilayah yang sangat gersang dan tidak memiliki
potensi di bidang pertanian, perairan, dan pertambangan. Mayoritas mata
pencaharian penduduk disini adalah berdagang. Sehingga dalam syair Aceh daerah
ini sangat populer dengan “nafsu minta peng jak ue Blang Pidie” (Syair
Rafli “Kisah Gampong Loen). Banyak dari suku pendatang (Minangkabau) mengadu
nasib mereka dengan berdagang untuk memenuhi kehidupan sehari-hari.
Organisasi dan lembaga di setiap daerah tentu berbeda,
Blang Pidie memiliki sebutan khusus untuk menyebut organisasi dan lembaga pada
daerahnya. Setiap kecamatan yang terdapat di Blang Pidie dibagi atas Mukim.
Mukim adalah kesatuan masyarakat hukum di bawah kecamatan yang terdiri atas
gabungan beberapa Gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu yang
dipimpin oleh Imeum Mukim atau nama lain dan berkedudukan langsung di
bawah Camat.
Mukim dibagi atas
kelurahan dan Gampong. Kelurahan dibentuk di wilayah kecamatan dengan Qanun
Kabupaten/Kota yang dipimpin oleh Lurah yang dalam pelaksanaan tugasnya
memperoleh pelimpahan dari Bupati/Walikota. Kelurahan di Provinsi Aceh dihapus
secara bertahap menjadi Gampong atau nama lain dalam Kabupaten/Kota. Gampong
atau nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang berada di bawah Mukim
dan dipimpin oleh Keuchik atau nama lain yang berhak menyelenggarakan
urusan rumah tangga sendiri.
Secara garis besar, suatu masyarakat berfungsi sebagai
ukuran untuk menggarisbawahi hubungan antara hubungan-hubungan sosial dengan
suatu wilayah geografis tertentu. Dan setiap anggota masyarakat senantiasa
selalu ikut berpartisipasi dan terlibat dalam proses-proses sosial yang terjadi
pada suatu masyarakat.
Realitas Budaya yang terjadi
Perpaduan antarsuku Aceh dan Padang tentu menghasilkan
kebudayaan, tradisi serta adat istiadat yang beraneka ragam. Umumnya, sebuah
perpaduan kebudayaan tetap akan memunculkan sebuah kebudayaan yang mendominasi
kebudayaan yang tersaingi. Paul B. Horton dan Chester L. Hunt mengatakan bahwa
sebuah kebudayaan dan masyarakat tidak memiliki batas-batas konsep yang terlalu
tegas. Sehingga sungguh sangat memungkinkan terjadinya perpaduan satu
kebudayaan dengan kebudayaan lainnya.
Kebudayaan sendiri terbagi ke dalam kebudayaan materi
dan nonmateri. Kebudayaan materi yang terdapat yang terdapat pada daerah
berbeda denga daerah lainnya. Sebagai daerah yang paling awal penyebaran islam,
daerah Aceh khususnya Blang Pidie banyak menggunakan tulisan Arab Melayu yang
kerap dijumpai di berbagai papan bangunan. Tulisan Arab Melayu tersebut
merupakan identitas Aceh sebagai daerah paling awal berkembangnya islam di
Nusantara.
Berbagai tulisan Arab Melayu yang kerap dijumpai di
berbagai papan bangunan merupakan sebuah identitas Aceh sebagai daerah paling
awal masuknya islam di Nusantara. Adapun huruf Arab Melayu itupun tumbuh dan
berkembang dari Wilayah Aceh. Awal mulanya Islam masuk ke Aceh, terjadilah
islamisasi dalam berbagai bidang kehidupan, seperti seni-budaya dan lain
sebagainya. Hal tersebut dilakukan untuk memudahkan dan menarik para warga Aceh
dalam memeluk islam. Untuk tulisan Arab-Melayu dibuat penyesuaian, dan akhirnya
huruf Arab ini diberi nama huruf Arab Melayu (bahasa Aceh: harah Jawoe).
Sejauh ini perkembangan tulisan Jawoe tersebut hanya
dilakukan oleh Badan Dayah NAD yang pernah melaksanakan penataran penulisan
Arab Melayu pada tahun 2006 dan 2007 dengan salah seorang nara sumbernya,
Drs.Mohd.Kalam Daud, M.Ag tersebut. Sebenarnya, para guru yang mengasuh mata
pelajaran TAI-lah yang semestinya diberikan bimbingan khusus mengenai penulisan
TAI itu. Karena merekalah yang langsung mengajari muridnya di kelas. Namun,
kegiatan demikian belum terdengar sampai saat ini (Wawancara 2, 25 April 2012).
Penyelenggaraan pemerintahan Kabupaten/Kota berpedoman pada asas
umum penyelenggaraan pemerintahan yang memiliki kekhususan dalam asas
keislaman. Penyelenggaraan Pemerintahan Kabupaten/Kota terdiri atas DPRK.
Susunan organisasi ini diatur lebih lanjut dalam Qanun. Dalam hal ini, qanun
mengatur pelaksanaan syariat Islam yang meliputi bidang aqidah, syaria’ah, dan
akhlak (UU No.11 Tahun 2006).
Setipa pemeluk agama Islam di Aceh wajib menaati dan mengamalkan
syari’at Islam. Dan setiap orang yang bertempat tinggal atau berada di Aceh
wajib menghormati pelaksanaan syari’at Islam. Pemerintahan Aceh khususnya
Pemerintahan Kabupaten/Kota menjamin kebebasan, membina kerukunan, menghormati
nilai-nilai agama yang dianut oleh umat beragama dan melindungi sesama umat
beragama untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama yang dianutnya.
Dalam pelaksanaannya, orang-orang yang melanggar syari’at Islam
akan dihukumi cambuk seperti yang dilakukan oleh budaya timur. Pada saat
hukuman akan berlangsung setiap petugas atau lebih akrab disebut dengan polisi
syari’ah menghimbau para warga untuk menyaksikan secara langsung hukum cambuk
tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala lorong setempat mengatakan bahwa
“ Selama ini hukuman cambuk diberikan terhadap sanksi pelaku zina dan pemain
judi, untuk kasus yang terkait dengan pemerintahan masih belum terlaksana dan
dihukum secara syariat” tutur Pak Hamdan selaku kepala lorong daerah tersebut.
Hal yang paling unik dijumpai dari suku jamee adalah
tradisi pada hari Meugang (hari magang). Tradisi ini dikenal dengan tradisi Mambantai
dan Balamang. Kedua tradisi ini selalu dilaksanakan setiap tahun sebelum
ramadhan. Mambantai adalah tradisi penyembelihan hewan yang nantinya dimasak
untuk keperluan Meugang. Kegiatan ini dilakukan oleh kaum laki-laki. Mereka
berkumpul di sebidang tanah yang cukup luas. Prosesi ini dipimpin oleh seorang
pawang (kadang dipimpin oleh Imam Chik mesjid atau Meunasah ) yang benar-benar
memahami tata cara dan doa dalam penyembelihan dan dibantu oleh beberapa orang
yang bertugas mengikat kaki dan merebahkan hewan yang akan disembelih dengan
posisi menghadap kiblat. Sampai pada proses pemotongan daging dan siap dimasak
oleh kaum perempuan. Selain itu, dihari yang sama ada pula tradisi Balamang
yang dilaksanakan oleh hampir semua keluarga disana. Balamang berarti
tradisi memasak lemang. Uniknya Lemang tersebut dimasak bersama-sama oleh
semua malamang. Malamang perempuan yang ada dalam keluarga yang biasanya
diikuti oleh tiga generasi; nenek, ibu dan anak perempuan (hasil pengamatan
penulis).
Balamang berarti tradisi memasak lemang. Uniknya
lemang tersebut dimasak bersama-sama oleh malamang perempuan yang ada dalam
keluarga yang biasanya diikuti oleh tiga generasi; nenek, ibu dan anak
perempuan. Mereka mendapat porsi tugas masing-masing sesuai usia. Nenek
dianggap orang yang paling ahlu dalam memasak lemang. Ia bertugas sebagai orang
yang mengaduk semua bahan dengan takaran yang sesuai. Ia bertugas sebagai orang
yang mengaduk semua bahan dengan takaran yang sesuai. Selain itu ia juga yang
paling mengerti cara memasukkan beras ke dalam bambu. Generasi yang lebih muda
kebagian tugas mencari, memotong dan memebersihkan bambu untuk memasak lemang.
Suatu hal yang menjadi pantangan bahwa bambu (buluh) tidak boleh dilangkahi
karena dapat menyebabkan beras ketan yang dimasak di dalam buluh tersebut alak
akan keluar (menjulur) saat proses pemanggangan (dibakar di bara api) dalam
posisi berdiri bersandar pada besi tungku. Biasanya bambu dicuci di sungai
dengan menggunakan sabut kelapa untuk mengikis miang yang melekat pada bambu
(buluh) agar tidak gatal lagi. Gerakan menggosok batang bambu juga ditentukan
yaitu satu arah, tidak boleh bolak-balik untuk mencegah miang tadi melekat
kembali. Gerakannya juga tidak boleh terlalu keras agar tidak merusak buluh.
Generasi kedua ini juga bertugas memeras santan dengan memisahkan santan dengan
memisahkan santan kental dan encer. Sedangkan generasi ketiga adalah generasi
yang sudah harus mempelajari cara memasak lemang. Ia harus memperhatikan dengan
baik setiap prosesnya. Tugasnya lebih ringan, mulai dari mencari daun pisang,
lalu memilih dan memotong daun muda yang tidak mudah robek untuk dimasukkan ke
dalam buluh lemang. Ia juga harus mencuci beras hingga bersih.
Tata cara serta ketentuan yang berlaku pada suatu adat
istiadat serta tradisi pada daerah ini,
harus dilakukan secara runtut dan tidak diperbolehkan diganti dengan sesuatu
apapun. Bahkan menurut mitos yang berkembang pada warga daerah Pasar Baru
Kecamatan Blang Pidie mengatakan bahwa apabila terdapat salah satu warga yang
tidak melaksanakan tradisi sesuai dengan ketentuan yang berlaku, kemungkinan
akan ditimpa musibah pada keluarganya dan dijauhkan rezeki serta jodohnya
(Wawancara 2, 25 April 2012).
Suku Jamee pada kabupaten ABDYA khususnya daerah Blang
Pidie sangat mengagungkan relativisme kebudayaan. Dimana setiap orang memiliki
pemahaman bahwa setiap kebudayaan memiliki unsur yang sama dan tidak bisa
dipastikan terdapat budaya atau tradisi yang merugikan. Sehingga dalam
perkembangannya, sangat jarang ada kebudayaan asli yang terhapus pada kedua
suku tersebut. Suku Aceh tetap melaksanakan tradisi dan adat istiadat Aceh,
begitu pula sebaliknya dengan suku Minangkabau, antar kedua suku sangat jarang
ditemukan pertentangan dan pertikaian yang berkaitan dengan kebudayaan yang
mereka anut.
Levine dan Campbell (dalam Paul B. Horton dan Chester
L. Hunt, 1984) menyatakan bahwa dalam suatu kebudayaan sering dijumpai etnosentrisme,
dimana suatu kelompok atau suku menganggap kebudayaannya yang paling baik.
Fenomena yang ditemukan pada wilayah observasi penulis, antar suku sangat
menghormati kebudayaan masing-masing tidak ada yang mendominasi antar adat
istiadat maupun kebiasaan yang terdapat pada daerah tersebut. Dalam tradisi
bertaji, segala jenis makanan khas kedua suku dihidangkan, agar kekerabatan dan
kerukunan tetap terjalin dengan baik. Walaupun tanpa etnosentrisme, pengukuhan
suatu kebudayaan tetap akan terjaga pada daerah Blang Pidie.
Kesimpulan
Keanekaragaman
kebudayaan di Indonesia tak bisa dipungkiri adanya asimilasi antara satu suku
dengan suku lainnya, antar budaya dengan budaya lainnya. Aceh sendiri sebagai
sebuah provinsi yang terdapat di Indonesia memiliki berbagai suku, diantaranya
suku Gayo, Aceh, Melayu, Jamee, dan masih banyak lainnya. Suku Aneuk Jamee
adalah kombinasi dari budaya Aceh dan Budaya Minangkabau. Penyebutan Jamee
sendiri merupakan sebuah sebutan penghormatan terhadap tamu atau pendatang yang
menetap di Aceh.
Dalam
kehidupan sehari-sehari kedua suku tersebut melakukan interaksi dengan
menggunakan bahasa Jamee. Bahasa Jamee sendiri merupakan perpaduan antara
bahasa Aceh dan bahasa Padang. Suku yang terdapat pada kabupaten Aceh Barat
Daya (ABDYA) melakukan sebuah akomodasi dalam menentukan bahasa yang digunakan
dalam interaksi sehari-hari. Sehingga pada akhirnya bahasa padang tetap
digunakan dengan berasimilasi dengan bahasa Aceh yang kemudian menjadi bahasa
“Jamee”. Tidak terdapat perubahan yang besar pada bahasa tersebut, hanya
beberapa konsonan dan vokal yang sedikit diubah untuk menyesua ikan dengan bahasa Aceh.
Pola kebudayaan antar kedua suku menghasilkan tradisi
dan adat istiadat yang sangat unik, dimana pada setiap tradisi dan adat
istiadat masih memunculkan kebudayaan khas dari kedua suku tersebut. Tradisi
yang sering dilakukan pada kedua suku tersebut adalah tradisi “Bertaji”, yaitu
sebuah Ritual makan bersama yang sering dilakukan para warga merupakan bentuk
kerja sama (cooperation) antara dua suku yaitu suku Aceh dan suku Minangkabau.
Ritual bertaji ini menghasilkan perpaduan suku yang sekarang dikenal dengan Aneuk
Jamee. Berbagai jenis makanan yang dihidangkan dalam ritual tersebut
merupakan perpaduan makanan khas dari suku Aceh dan Minangkabau. Ritual bertaji
ini juga menjadi momen yang sangat penting bagi suku Minangkabau untuk melepas
rindu pada kampung halamannya.
Tradisi dan adat istiadat tertentu bisa dijumpai pada
saat penyambutan dan peringatan hari besar seperti pada saat penyambutan bulan
suci Ramadhan dan lebaran Idul Fitri maupun Idul Adha banyak dari warga
setempat melakukan tradisi Balamang dan Mambantai, yang sampai saat ini masih
dilakukan bahkan tanpa tradisi ini, sebuah perayaan dan peringatan tersebut
tidak akan berarti apa-apa.
Asimilasi yang terjadi pada kecamatan ini sangat
jarang menimbulkan pertikaian dan pertentangan antara kedua suku tersebut.
Pemerintahan pada daerah tersebut benar-benar mengatur sedemikian rupa tatanan
kehidupan masyarakat sekitar, sehingga kerukunan dan kekerabatan tetap terjalin
dengan baik.
Daftar Pustaka
Ali, Muhammada. 2005. Psikologi
Remaja. Jakarta: Bumi Aksara.
B. Horton,
Paul dan Chester L. Hunt. 1984. Sosiologi. Jakarta: Erlangga
Ensiklopedia Aceh. 2005
Jahi Utama,
Amri. 1993. Komunikasi Massa dan Pembangunan Perdesaan di Negara- Negara
dunia Ketiga: Suatu Pengantar. Jakarta: Pustaka Utama
Koentjaraninggrat.
1996. Pengantar Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta
Philip
Kottak, Conrad. 2005. Mirror for Humanity. Mc Graw
Soekanto,
Soerjono. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajagrafindo
Sugiyono.
2011. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R & D. Bandung:
Alfabeta.
Undang-undang
Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (LN 2006 No 62, TLN 4633).
Wilkipedia Indonesia diunduh 12 Juni 2012.