Selasa, 02 Oktober 2012

Psikologi dalam kacamata filsafat dan agama islam

Psikologi Dalam Kacamata Filsafat Dan Agama Islam
oleh : Isma Junida
Psikologi dalam kajiannya membahas eksistensi jiwa manusia sesuatu hal yang secara kasat mata tidak bisa dilihat, namun memberikan dampak yang sangat dalam perilaku manusia. Banyak dari beberapa filosof yang mencoba mendefenisikan hakikat jiwa jauh sebelum keilmuan psikologi menjadi sebuah disiplin ilmu. Namun, sampai saat ini masih banyak dijumpai seorang psikolog yang belum memahami secara mendalam “what is soul?”. Sedikit menyinggung sejarah, umumnya para pakar psikologi menyepakati bahwa berdirinya psikologi modern adalah pada saat wilhelm wundt mendirikan laboratorium psikologi yang pertama di leipzig, jerman, tahun 1879. Dan dilanjutkan oleh madzhab- madzab psikologi lain yang mengembangkan dan menemukan cara menyingkap hakikat jiwa tersebut.
Dalam perkembangannya, psikologi telah menjelajah proses-proses mental kejiwaan manusia. Madzhab behavioristik yang  empiris, objektif dan selalu melakukan eksperimen yang fokus pada kajian perilaku manusia yang tampak ( overt behavior). Tidak berhenti sampai disitu, madzh`b kognitif  yang bmenjadikan manusia homo sapien, yang kemudian melahirkan madzhab humanism yang menempatkan manusia sebagai homo ludens.
 William james, bapak psikologi Amerika, menyatakan bahwa penyebab pertama yang mendasari semua penyakit kelemahan dan depresi adalah perasaan manusia terpisah dari kelemahan energi ilahi yang disebut tuhan. Saat ini masih banyak kekurangan pada saat pengaplikasian dan kesesuaian dengan agama. Untuk itu, sudah jadi tanggung jawab sarjana muslim untuk melengkapi dan menyaring dengan baik.
a.    Defenisi dan hakikat jiwa

Melihat dari mitologinya tentang kisah seorang putri psyche yang berusaha mencari cintanya Eros, dimana pada akhir pencariannya dia tidak juga dapat menemukan dan mendengarkan kekasihnya. Sehingga meta peta kejiwaan dan mekanisme antara modus-modus jiwa itu sendiri masih tidak jelas dan menyisakan begitu banyak lubang dalam disiplin ilmu psikologi sendiri. Jean luc-Nancy salah seorang filsuf baru mendefinisikan jiwa (psyche) adalah sesuatu yang extended, bagian yang mengimbuhi bagian (partes extra partes), dia bukan apa-apa dan tidak sesuatu yang bisa diketahui tentangnya.
Dalam konsepsi pramodern, manusia dibagi atas tiga entitas, corpus, animus, dan spiritus. Animus berasal dari bahasa Yunani anemos yang bermakna sesuatu yang hidup (bernafas) yang ditiupkan ke dalam corpus (wadah atau bungkus). Maka corpus adalah body (raga/jasad); dan spiritus adalah spirit (ruh); dan animus identik dengan psyche yang bermakna soul (jiwa/nafs). Dewasa ini istilah jiwa yang dipakai dalam psikologi telah mengalami penyempitan makna. Jiwa dalam terminologi psikologi modern lebih ke aspek psikis, dimana aspek psikis ini lebih merupakan riak gelombang permukaan di atas lautan dalam yang disebut jiwa.
Dalam terminologi Qur’aniyah, struktur manusia dirancang sesuai dengan tujuan penciptaan itu sendiri, dimana jiwa (soul) yang dalam istilah Al-Quran disebut nafs menjadi target pendidikan Ilahi. Istilah nafs didalam Islam sering dikacaukan dengan apa yang dalam bahasa Indonesia disebut hawa nafsu, padahal istilah hawa dalam konteks Qur’ani memiliki wujud dan hakekat tersendiri. Aspek hawa dalam diri manusia berpasangan dengan apa yang disebut sebagai syahwat. Sedangkan apa yang dimaksud dengan an-nafs amara bissu’ dalam surat (Yusuf [12]: 53) adalah nafs (jiwa) yang belum dirahmati Allah SWT:
“Dan aku tidak membebaskan nafsku, sesungguhnya nafs itu cenderung mengarah kepada kejahatan, kecuali yang dirahmati oleh Rabb-ku.”
Hawa merupakan kecenderungan kepada yang lebih bersifat non-material, yang berkaitan dengan eksistensi dan harga diri, persoalan-persoalan yang wujudnya lebih abstrak. Hawa merupakan entitas, produk persentuhan antara nafs dan jasad. Sedangkan syahwat merupakan kecenderungan manusia pada aspek-aspek material (AliImran [3]: 14), dan ini bersumber pada jasad insan yang wujudnya memang disusun berdasarkan unsur-unsur material bumi (air, tanah, udara, api).
Nafs manusia diuji bolak-balik di antara dua kutub, kutub jasmaniah yang berpusat di jasad dan kutub ruhaniyah yang berpusat di Ruh al-Quds. Ar-Ruh ini beserta tiupan dayanya (nafakh ruh) merupakan wujud yang nisbatnya ke Martabat Ilahi dan mengikuti hukum-hukum alam Jabarut. Aspek ruh ini (jamak arwah) tetap suci dan tidak tersentuh oleh kelemahan-kelemahan material dan dosa, spektrum ruh merupakan sumber dari segala yang maujud di alam syahadah ini maka tak ada istilah tazkiyyatur-ruhiyyah atau mi’raj ruhani.
Al-Ghazali dalam Kitab Ajaaibul Qulub[5] jelas membedakan istilah-istilah seperti qalb (rasa jiwa, bukan rasa jasadiah/psikis), nafs, ruh, dan ‘aql; dimana istilah-istilah ini dalam konsepsi psikologi modern tak terpetakan dengan tegas karena berada pada tataran jiwa yang bersifat malakut, atau secara psikologi analitik berada di ruang ketaksadaran.
Prinsipnya, apa yang disebut sebagai manusia sempurna (insan kamil) dalam terminologi Al-Qur’an, minimal manusia yang sudah memiliki struktur seperti tercantum dalam An-Nur [24]: 35, seorang Insan Ilahi. Manusia dikatakan sebagai khalifatullah (wakil Allah) di bumi jika ia telah mencapai state tersebut, ia membawa kuasa Allah dan bercitra Ar-Rahman.
“Allah cahaya petala langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya bagaikan sebuah misykat yang didalamnya terdapat pelita terang. Pelita tersebut di dalam kaca, kaca itu seolah kaukab yang berkilau dinyalakan oleh (minyak) dari pohon yang banyak berkahnya, pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur dan tidak pula di sebelah barat, yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi walau tanpa disentuh api. Cahaya di atas cahaya, Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa-siapa yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.


Ayat tersebut mengisyaratkan tentang manusia, dimana di dalam jasad (misykat)-nya terdapat nafs (jiwa) yang qalb (zujajah)-nya bercahaya seperti bintang karena telah dinyalakan dari dalam dengan api Ruh al-Quds (misbah). Adapun misykat sifatnya kusam dan tak tembus pandang, sebagai perlambang jasad yang berasal dari alam mulk (ardhiyah), merupakan manifestasi terendah dari kehadiran Al-Haq dalam alam syahadah.
Bola kaca zujajah yang jernih tembus pandang melambangkan qalb, merupakan aspek rasa dari si nafs yang berasal dari alam malakut. Si nafs melakukan serangkaian proses tazkiyyatun-nafs (pensucian jiwa) sehingga jernihlah qalbnya dan tampaklah titik-apinya menyala di inti jiwa. Jika insan dapat mencapai state seperti digambarkan An-Nur [24]: 35, maka insan tersebut dinamai syuhada (saksi Allah sejati) karena telah berperan sebagai cahaya yang menampakkan khazanah Ilahi sebagai Harta Terpendam (Kanzun Makhfiyan)[6]. Ayat di atas menyatakan struktur target yang harus manusia capai walau sulit.
Berdasarkan penjelasan ayat diatas, maka dapat dismipulkan bahwa si nafslah yang menjadi fokus pendidikan Ilahi. Alam dunia ini bagi nafs sebenarnya hanya sebuah jenjang ’sekolah dasar’, Rasulullah SAW berkata bahwa alam dunia ini hanyalah sebuah jembatan kecil yang menghubungkan dua alam besar, dan si nafs diuji dalam pengembaraannya di ‘oase’ ini; sementara ia harus menyelesaikan sejumlah jenjang ’sekolah lanjutan’ lagi. Di alam dunia, jasad atau raga insan berperan sebagai kendaraan bagi si nafs untuk menemukan al-haq di bumi jagat ini sebagai pelajaran pertamanya. Si nafs harus mengembara di muka bumi hingga terbuka kepadanya malakut langit, atau hakikat dari segala yang wujud (khalq) di alam syahadah, dan hakikat dari setiap khalq adalah al-haq.

b.    Pemaknaan Logos
Benarkah jiwa sesuatu yang ilmiah? Atau benarkah apa yang para psikolog sebut dengan psyche bisa dikaji secara ilmiah? Sebuah tanda tanya yang besar bagi seorang psikolog untuk mempertahankan original keilmuan psikologinya, agar tidak menjadi sebuah pertikaan yang lazim kita dengar bahwa kajian kejiwaan tersebut bukanlah sebuah keilmuan, namun sebuah kekuatan gaib yang dikuasai oleh para dukun-dukun yang ada di desa-desa.
Dalam khazanah stoics logos lazim dikenal dengan “pneuma” yaitu ruh atau entitas sangat halus yang dikatakan terkandung dalam api. Sehingga pneuma universal sendiri dimaknai sbagai penyebab utama pola siklis abadi dari segala sesuatu ( audifax:2008). Dalam agama yunani dan pemikiran para filsuf mengartikan logos sendiri merupakan sabda ilahi dari perantara theos yang memberi wahyu, kebijaksanaan, serta bimbingan yang ditujukan kepada seseorang (prophetes). Socrates berdasarkan pengalaman spiritualnya memaknai logos sebagai Daimon yang merupakan bisikan yang senantiasa berdasarkan petunjuk tuhan yang dilakukan seseorang “Gnothi se Authom”.
Dalam kitab-kitab klasik islam ilmu didefinisikan sebagai suatu keyakinan yang sesuai dengan realitas yang ada serta mengungkapkan realitas tersebut secara optimal. Berdasarkan sudut pandang islam, kata ilmu memiliki makna yang cukup luas, karena mencakup dua sisi sumber yang terpecarya, yakni akal dan wahyu dengan mempersempit perbedaan konsep yang ada pada keduanya. Dalam perkembangannya, ilmu dibagi kedalam dua fase yaitu fase washfiyyah (koding) dan fase syahiyyah (deskriptif). Fase koding itu sendiri merupakan tahap dimana sebuah pengetahuan hanya diklasifikasika, pengumpulan data, serta dilakukan komparasi. Sedangkan pada fase syarhiyyah pengetahuan tersebut akan diberi penjelasan secara deskriptif, yang pada akhirnya akan mengantarkan kita pada topik-topik ilmu sosial khususnya psikologi sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar