Pernikahan beda
budaya dapat meningkatakan psychological well-being pada individu yang
mengalaminya
Isma Junida
Kajian kontra
Negara Indonesia merupakan negara yang
memiliki masyarakat majemuk. Kemajemukan tersebut dapat dilihat dengan adanya
perbedaan-perbedaan yang jelas dan dapat membedakan diantara mereka (masyarakat
Indonesia) suatu suku bangsa sebagai salah satu unsur kemajemukan Indonesia,
tersebar dan mendiami seluruh kepulauan nusantara. Di Indonesia terdapat
sekitar 380 suku bangsa dan kurang lebih 200 bahasa daerah. Keseluruhan
kelompok suku bangsa ini bercorak Bhineka Tunggal Ika, yang merupakan
suatu kesatuan utuh yang tidak dapat dicerai-beraikan, masing-masing suku
bangsa terwujud sebagai satuan masyarakat dan kebudayaan yang masing-masing
berdiri sendiri dan disatukan oleh kekuatan nasional suatu bangsa. Hal ini akan
sangat berpeluang besar akan terjadinya perkawinan beda budaya (lintas budaya).
Globalisasi yang terjadi juga tidak memungkiri individu untuk melakukan
interaksi yang lebih luas, sehingga hal tersebut sangat memungkinkan terjadinya
pernikahan lintas budaya maupun lintas bangsa sekalipun.
Pernikahan hakikatnya
merupakan suatu ikatan janji setia antara suami dan istri yang di dalamnya
terdapat suatu tanggung jawab dari kedua belah pihak. Tseng mengatakan bahwa
perkawinan antar etnis (intercultural marriage) adalah perkawinan yang terjadi
antara pasangan yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda. Dalam hal
ini budaya menjadi suatu aspek yang penting dalam perkawian, dimana pasangan
tersebut tentu memiliki nilai-nilai budaya yang dianut, menurut keyakian dan
kebiasaan serta adat istiadat dan gaya hidup budaya. Koentjaraninggrat juga
menambahkan bahwa dalam perkawinan juga disatukan dua budaya yang berbeda,
latar belakang yang berbeda, dan suku yang berbeda. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa pernikahan beda budaya merupakan pernikahan yang terjadi anatar pasangan yang berasal dari
latar belakang budaya yang berbeda. Jadi, pernikahan beda budaya adalah
pernikahan yang dilakukan antara dua budaya yang berbeda baik itu dalam
lingkupan adat, etnis, dan bangsa.
Sedangkan kebudayaan
sendiri merupakan suatu identitas yang melekat pada individu yang menggambarkan
secara keseluruhan tentang individu tersebut. Bentuk-bentuk kebudayaan tersebut
menurut C. Kluckhon antara lain:
Ø Peralatan
dan perlengkapan hidup manusia ( alat-alat rumah tangga, produksi, transportasi
dan lain sebagainya)
Ø Mata
pencaharian hidup dan sistem ekonomi
Ø Sistem
kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi, hukum dan perkawinan)
Ø Bahasa
Ø Kesenian
Ø Sistem
pengetahuan
Ø Religi
Dan fungsi dari
kebudayaan tersebut adalah sebagai wadah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
manusia, melindungi diri dari alam, mengatur hubungan dengan manusia, serta
sebagai wadah untuk menyampaikan perasaan. Berbicara tentang migrasi, maka di
dalam kebudayaan tersebut juga mengandung norma yang mencakup tata kelakuan,
kebiasaan dan cara. Norma sendiri merupakan patokan perilaku dalam suatu
kelompok tertentu. Dengan adanya norma seorang pendatang akan mengetahui
bagaimana dia akan bertindak sesuai dengan patokan yang berlaku pada suatu
daerah. Dalam hal penyesuain diri yang dilakukan pendatang terhadap suatu kebudayaan tertentu
menimbulkan dua bentuk perilaku, yaitu:
Ø Asimilasi
yaitu pembauran
dua kebudayaan yang disertai dengan hilangnya
ciri khas kebudayaan asli sehingga membentuk kebudayaan baru.
Dala hal
pernikahan, suatu budaya memiliki sistem dan hukum yang mengatur tentang
pernikahan dan hal ini sangat berbeda antara budaya satu dan lainnya. Adapun
bentuk perkawinan di dalam masyarakat adat, antara lain :
1. Perkawinan
Jujur yaitu perkawinan di mana perempuan dilepaskan dari keluargannya untuk
masuk ke dalam keluarga laki-laki dengan membayar uang jujur. Pada umumnya
terdapat pada masyarakat Patrilineal, guna untuk mempertahankan garis keturunan
laki-laki (bapak). Misalnya pada masyarakat Batak Toba menggunakan perkawinan
jujur untuk melaksanakan perkawinanya. Maksud dari perkawinan jujur adalah
perkawinan ditandai dengan pembayaran jujur oleh kerabat pihak laki-laki kepada
kerabat pihak perempuan sebagai tanda penggantian penglepasan perempuan keluar
dari kekerabatan bapak dan masuk ke dalam kekerabatan suami.
2. Perkawinan
Semanda yaitu perkawinan di mana laki-laki didatangkan atau dijemput oleh pihak
perempuan, dan laki-laki tersebut tidak masuk kedalam keluarga perempuan
melainkan masih tetap menjadi anggota keluarga asalnya. Pada umumnya pada
masyarakat Matrilineal untuk mempertahankan garis keturunan perempuan (ibu).
Misalnya pada masyarakat Minangkabau, Bengkulu, Lampung pesisir dan Ambon.
3. Perkawinan
Mentas yaitu perkawinan yang tidak mengutamakan kekerabatan salah satu pihak
Pada
umumnya dipakai pada masyarakat Bilateral yang menarik garis keturunan serentak
dari bapak-ibu. Misalnya pada masyarakat Jawa.
Lain halnya dengan
sistem pernikahan atau perkawinan, kemajemukan suku dan adat membuat sistem
pernikahan berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Adapun
sistem-sistem pernikahan yang terdapat di indonesia, antara lain:
1.
Sistim Endogami
Dalam
sistim ini hanya diperbolehkan kawin dengan seorang dari suku keluarganya
sendiri. Sistim perkawinan terdapat di daerah Toraja.
2.
Sistim Exogami
Dalam
sistim ini orang diharuskan kawin dengan orang di luar suku keluarganya. Sistim
ini terdapat di daerah Gayo, Alas, Tapanuli, Mingkabau, Sumatera Selatan, Buru
dan Seram.
3.
Sistim eleutherogami
Di
mana seorang pria tidak lagi diharuskan atau dilarang untuk mencari calon istri
di luar atau di dalam lingkungan kerabat/suku melainkan dalam batas-batas
hubungan keturunan dekat (nasab) atau periparan (musyaharah). Sistim ini
terdapat di Aceh, Sumatera Timur, Bangka, Bliton, Kalimantan, Minahasan.
Dalam pelaksanaanya di
masyarakat, sangat jarang keluarga menikahkan anaknya dengan sesorang yang
berlainan suku, karena strata yang terdapat dalam suku yang berbeda mungkin
saja lebih rendah atau lebih tinggi, sehingga menjadi penghinaan tersendiri
bagi keluarga jika anak mereka melakukan pernikahan dengan strata atau kelas
sosial yang lebih rendah. Fenomena ini sering kita temukan di bali, Aceh,
Keraton Jawa, dan masih banyak lagi. Seseorang yang berasal dari strata raja
biasanya disebut Teuku bagi laki-laki
diharuskan untuk menikahi perempuan yang memiliki strata yang sama Cut, dan tidak dibolehkan untuk
menikahi orang yang memiliki strata yang lebih rendah darinya. Bahkan dalam
satu sejarah tentang “Adek adun si malelang” mencatat bahwa adanya hukuman mati
bagi pasangan yang menikah dengan adat yang berbeda. Pernikahan dalam budaya
yang sama namun berbeda dalam stratanya saja sudah susah, apalagi pernikahan
yang dilaksanakan bagi antar budaya yang berbeda, tentu sangatlah tidak mungkin
dan sangat mustahil untuk mencapai sebuah kesejahteraan dan kebahagian dalam
berumah tangga.
Umumnya tujuan dari
sebuah pernikahan adalah mewujudkan hidup bersama dalam ikatan cinta kasih
untuk mendapatkan keturunan demi kelangsungan hidup manusia, serta memperoleh
ketenangan dan kesejahteraan dalam berumah tangga. Kesejahteraan dalam
psikologi umumnya dikenal dengan istilah well being. Well being sendiri
merupakan keadaan dimana seseorang memiliki sikap positif yang dapat menghargai
dirinya sendiri dan orang lain.Memiliki tujuan hidup dan membuat hidup mereka
menjadi jauh lebih optimal. Well being terbagi 2, yaitu subjective well being
dan psychological well being. Namun, berkaitan dengan mosi. Maka dalam hal ini
hanya dibahas tentang psychological well being (PWB).
Berdasarkan defenisi dari beberapa
tokoh. Diantaranya:
a.
Menurut Shek psychological well being
merupakan keadaan seseorang yang sehat secara mental yang memiliki sejumlah
kualitas kesehatan mental yang positif seperti penyesuaian aktif terhadap
lingkungan dan kesatuan kepribadian.
b.
Menurut Ryff, PWB adalah istilah yang
digunakan untuk menggambarkan kesehatan psikologis individu berdasarkan
pemenuhan kriteria fungsi psikologi positif. Kesejahteraan psikologis adalah
suatu kondisi psikologis individu yang sehat ditandai dengan berfungsinya
aspek-aspek psikologis positif dalam prosesnya mencapai aktualisasi diri.
Menurut Ryff (1989) gambaran tentang karakteristik orang yang memiliki
kesejahteraan psikologis merujuk pada pandangan Rogers tentang orang yang
berfungsi penuh (fully-functioning person), pandangan Maslow tentang
aktualisasi diri (self actualization), pandangan Jung tentang individuasi,
konsep Allport tentang kematangan. Juga sesuai dengan konsep Erikson dalam
menggambarkan individu yang mencapai integrasi dibanding putus asa, konsep
Neugarten tentang kepusaan hidup, serta kriteria positif tentang orang yang
bermental sehat yang dikemukakan Johada.
Dalam
hal ini PWB memiliki enam dimensi, diantaranya:
Pertama,
penerimaan diri (self-acceptance), individu yang mimiliki penerimaan
diri menunjukkan karakteristik: memiliki sikap positif terhadap dirinya,
mengakui dan menerima berbagai aspek yang ada dalam dirinya, baik yang bersifat
baik maupun buruk; serta merasa positif dengan kehidupan masa lalunya.
Kedua,
hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others),
karakter yang ditunjukkan oleh indiviu yang memiliki hubungan positif dengan
orang lain, mempunyai kehangatan dan kepuasan, berhubungan berdasarkan
kepercayaan, perhatian terhadap kesejahteraan orang lain, mempunyai empati yang
kuat, memiliki afek, dan kedekatan.
Ketiga,
Otonomi (Autonomy),yaitu kemampuan melakukan dan mengarahkan perilaku
secara mandiri, penuh keyakinan diri. Individu yang mampu melakukan aktualisasi
diri dan berfungsi penuh memiliki keyakinan dan kemandirian, sehingga dapat
mencapai prestasi dengan memuaskan.
Keempat,
tujuan hidup (Purpose in Life), mental yang sehat meliputi adanya
keyakinan bahwa dapat melakukan sesuatu bagi orang lain adalah tujuan hidup
seseorang.
Kelima,
perkembangan pribadi dan (Personal growth), berfungsi secara optimal
tidak saja diartikan sebagai telah tercapainya prestasi di waktu yang lalu,
namun juga dapat terus mengembangkan potensi diri, disesuaikan dengan kapasitas
periode perkembangannya.
Keenam, pengusaan
terhadap lingkungan (environmental mastery), mental yang sehat
dikarakteritikkan dengan kemampuan individu untk memiliki atau menciptakan
lingkungan yang sesuai dengan kondisi fisiknya.
Jadi,
individu dikatakan memiliki atau bisa mencapai PWB apabila kehidupan yang
dijalaninya mencakup enam dimensi tadi. Dalam hal ini, perlu digarisbawahi
bahwa PWB tersebut bersifat
eudamonik: seseorang dikatakan sejahtera bila mengisi hidupnya dengan hal-hal
yang bermakna, yang bertujuan, yang berguna bagi kesejahteraan orang lain dan
pertumbuhan dirinya sendiri.
Setiap
pasangan yang telah melakukan pernikahan, tentu sangat berharap akan terbentuk
dan meningkatnya sebuah kesejahteraan psikologis, namun hal tersebut sangat
sulit diraih apabila pernikahan tersebut berasal dari dua kebudayaan yang
berbeda. Jika ditinjau dari segi dimensi, pasangan yang menikah dengan latar
belakang budaya yang berbeda akan sulit untuk melakukan penerimaan dii
seutuhnya dari pasangan maupun keluarga besarnya, karena orang tersebut
memiliki prinsip tersendiri yang sangat berbeda dari orang lain. Dimensi
hubungan positif, hal ini sangat jelas sekali bahwa individu yang melangsungkan
pernikahan beda budaya akan sangat kesulitan dalam hal melakukan hubungan positif
dengan orang lain. Dimana hubungan positif ini dicirikan dengan timbulnya
empati terhadap kesejahteraan orang lain baik itu sesama pasangan maupun
keluarga besarnya. Selain itu, individu yang melangsungkan pernikahan beda
budaya sangat sulit bahkan mustahil sekali untuk menguasai lingkungan karena
adanya perbedaan dari segi sistem, adat dll dengan budaya asalnya. Hal ini
sesuai dengat data yang menyebutkan bahwa permasalahn dalam pernikahan antar
bangsa adalah dalam penyesuian pola komunikasi yang menuntut saling pengertian,
karena berasal dari budaya yang berbeda. Budaya indonesia dan bangasa Asia
(Budaya Timur) umumnya memiliki jenis komunikasi High Context Comunication,
dimana apa yang diucapkan belum tentu sama dengan maksud yang sebenarnya.
Sementara budaya di negara-negara barat lebih ke arah Low Context Commun
ication, yaitu mengemukakanapa yang ingin disampaikan secara tegas dan apa
adanya di depan publik, apa yang disampaikan adalah apa yang dirasakan.
Kurangnya pengertian antara sesama pasangan beda budaya, sering memunculkan
miss communication yang akan berakibat pada konflik dan berakhir pada
perceraian.
Di Indonesia
pernikahan bukanlah hal yang mudah seperti yang dilakukan di negara-negara
lain. Pernikahan bukan hanya penyatuan antara satu individu dengan individu
yang lain. Namun, pernikahan merupakan penyatuan antara dua individu yang
berbeda beserta seluruh keluarga besar dari pasangan tersebut. Dalam melakukan
persiapan pernikahan meliputi pakaian yang akan digunakan, tempat pelaksanaan
pernikahan, tamu yang akan diundang, belum lagi souvernir untuk para undangan.
Persiapan pernikahan yang sesama budaya saja sudah sangat menyulitkan, apalagi
persiapan pernikahan dengan beda budaya yang sangat sulit menyatukan pendapat.
Dari segi
perkembangan dewasa awal, umumnya seseorang memiliki daya tarik dan menentukan
untuk menikahi seseorang karena adanya kesamaan dengan orang tersebut (
validitas konsentual). Hal ini dilakukan karena seseorang lebih mudah
mengontrol, memprediksi dan melakukan coping yang baik pada saat terjadi
konflik dalam berumah tangga serta akan timbulnya kesejahteraan psikologis
(psychological well being) dalam berumah tangga, dan tentunya pasangan suami
istri yang mencapai psychological well being akan langgeng dalam menjalani lika-liku
kehidupan pernikahannya.
Penelitian
yang dilakukan Abigail tahun 2009 terhadap pasangan inggris (suami) dan
indonesia (istri), menyebutkan bahwa kendala yang dihadapi umumnya kendala
bahasa, perbedaan nilai dan perbedaan pola perilaku kultural. Ketiga kendala
tersebut memang nyata terlihat, dan kendala tersebut sudah diketahui sejak
awal, namun tetap saja tidak bisa terselesaikan dan perbedaan-perbedaan tadi
berakhir pada perpisahan atau perceraian.
Perbedaan dalam
etnis bukanlah merupakan penghalang utama
individu yang
bersangkutan terhadap eksistensi pelestarian budaya leluhur dalam melakukan
sebuah
pernikahan.
Karena pada dasarnya, dalam kehidupan budaya, masyarakat Tionghoa masih
berusaha
mempertahankan
identitas budaya nenek moyang mereka, meskipun terkadang budaya lain turut
mempengaruhi tampilannya. Contoh pernikahan adalah pernikahan yang
dilangsungkan dengan penduduk pribumi surabaya dengan warga tionghoa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar